25 Januari 2009

Bersembunyi di Tempat Terang

Suatu malam, seorang pekerja sosial yang telah divonis menderita penyakit yang sulit disembuhkan karena kerja kerasnya yang keterlaluan dan sedang didera oleh kekambuhan, menemukan diri berada di tengah lorong gelap kesadarannya. Ia lalu mengabarkan keinginan terdalamnya kepada kesendirian. Katanya, "Sungguh aku ingin bersembunyi di tempat yang terang."

Keinginan itu membubung ke langit malam dan menggapai bintang-bintang. Saya tidak tahu apakah matahari juga ikut mendengarkan. Yang pasti, kalimat itu adalah sebuah harapan dalam kesendirian. Tidak ada yang bisa menganggukkan kepala dengan serta-merta sebagai tanda mengerti. Ketika diungkapkan, kediaman dinding dan eternit pun hanya meneguhkan.

Tetapi, keinginan itu mungkin termasuk kilatan hati yang bersifat rabbani, yang menggapai bintang-bintang, dan langsung disambut oleh pintu-pintu hati yang bersahaja.

Salah satunya oleh kesahajaan hati seorang remaja biasa; kesahajaan hati seorang mahasiswi tingkat akhir fakultas seni rupa dan desain dari sebuah perguruan tinggi di Bandung, yang biasa ber-jeans dan berkaos lengan pendek, menghabiskan waktu senggang di rumahnya dengan menonton film asing atau menikmati slow jazz, dan mengatasi tekanan proses pengusaian tugas akhirnya dengan jalan-jalan ke mal bersama kawan-kawannya.

Gadis ini sedang naik tangga sebuah pertokoan mentereng bersama sahabatnya, ketika tiba-tiba, seorang ibu tua pedagang rajutan yang duduk di samping trotoar, sedemikian mengganggu pikirannya. Ia lalu menggamit sahabatnya untuk mengurungkan niatnya berbelanja, turun lagi dari tangga yang hampir usai dijejakinya, menghampiri ibu tua itu, lalu memilih hasil rajutan terbesar sambil lupa semua standar penilaian desain bermutu yang secara akademis telah begitu dikuasainya.

Disodorkannya semua uang yang semula diniatkannya untuk membeli sebuah kaset. Dan, ketika dilihatnya, si ibu sedang mencari uang kembalian yang cukup besar, ditinggalkannya ibu itu.

Cahaya juga bersambut hanya dengan gelap malam sebagai saksi, ketika seorang gadis strata menengah hendak menjemput ibunya yang baru pulang dari luar kota di stasiun kereta api. Seorang pedagang bakso tahu yang telah keriput, yang duduk di pojok stasiun sambil terkantuk-kantuk dalam ketidakberdayaan yang menggigit, tiba-tiba merenggut konsentrasinya.

Berpaling dia ke pojok gelap itu, lalu dibelinya sepiring baso tahu dari pedagang tua itu, tanpa peduli kios-kios makanan yang begitu yakin menjajakan diri. Lalu, disorongkannya sepuluh ribu rupiah ke depan mata pedagang itu, dan sebelum pedagang itu sembuh dari kantuknya, kerejap cahaya keharuan menghalaunya untuk langsung berlalu.

Cahaya itu pun telah berkerejap tanpa peduli waktu. Sebelum keinginan untuk bersembunyi di tempat yang terang itu menjadi kalimat yang dilontarkan, telah ada cerita tentang orang-orang yang menolak untuk disebutkan identitasnya, tetapi diam-diam menyisihkan sebagian uang hingga tenaganya untuk disumbangkan ke panti asuhan, penggalangan dana bagi kelompok marjinal, dan banyak lagi.

Cahaya itu pun mungkin masih berkerejap dan akan terus berkerejap, kini dan nanti. Cahaya itu membuat orang-orang yang beruntung tiba-tiba terdorong untuk secara sadar menghindari pujian, dan merindukan terangnya cahaya memberi dengan tangan kanan tanpa sepengetahuan tangan kiri sebagai satu-satunya balasan.

Lalu? Saya menjadi sangat malu karena ketika itu, saya mungkin sedang tertidur pulas di kasur "egoistik" yang terlalu empuk.

Sumber: Miranda Risang Ayu dalam www.republika.co.id