22 April 2009

Emak ku Bukan Kartini

Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.

Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.

Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan.

Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.

Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.

Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.

***

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.

Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.

Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.

***

Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku." begitu tekadnya. Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.

Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.

Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di kampung kami.

***

Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.

Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, "Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak." Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. "Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana."

Aku bujuk Emak. "Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi." Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.

Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.

Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.

Sedihkah Emak? "Sepi", katanya. "tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga."

***

Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami.

By: Sutan Paruik Gadang

15 April 2009

Terima Kasih, Istriku ...

Kemarin, tanggal 22 Februari, genap 20 tahun kami menikah. Sebuah angka yang belum apa-apa bagi banyak pasangan luar biasa. Mereka bisa merayakan 'kawin perak 25 tahun', 'kawin emas' 50 tahun, atau bahkan lebih. Buat mereka, pencapaian pernikahan 20 tahun tentu cuma pencapaian para pemula.

Namun bagi saya dan istri, (baru) 20 tahun pernikahan adalah karunia besar. Di generasi kami, tak banyak yang mampu melewati waktu sependek itu secara mulus. Sejumlah orang yang saya kenal baik gagal melanjutkan pernikahannya. Alasannya beragam. Padahal, banyak di antara mereka yang berpendidikan tinggi. Kadang pengetahuan agamanya juga tak diragukan. Kenapa begitu?

Sesekali saya dan istri mendiskusikannya. Kami sepakat: Penyebab tersering perceraian adalah selingkuh. Ketika salah satu pihak mulai mencederai komitmen awalnya dan berselingkuh, goyahlah sendi-sendi keluarga. Terutama bila selingkuh itu telah diwarnai hubungan seksual. Lewat pernikahan diam-diam, apalagi zina.

Tidak sedikit orang berselingkuh dan tidak merasa berdosa karena tidak berzina. "Kan cuma 'curhat', atau makan bareng," kilahnya. Tapi, sulit bagi penyelingkuh buat menyangkal bahwa curhat itu adalah kerikil yang ia tabur sendiri ke tengah jalan perkawinannya.

Kadang penyebab kandas perkawinan lebih sepele: "Sudah nggak cocok lagi!" Begitu ringan kalimat itu diucapkannya. Pasangan demikian, mungkin sangat berpengalaman berganti-ganti pacar sebelum menikah. Anak-anak sekarang biasa empat-lima kali ganti pacar sebelum menikah. Dalam pacaran, kalau ada masalah putus saja. Ngapain pusing.

Kebiasaan itu dibawa ke perkawinan. Buat mereka pernikahan begitu kasual: toh banyak yang saat menikah sudah tak perjaka dan perawan. Pernikahan cuma sedikit lebih sakral ketimbang pacaran. Saya bersyukur tidak masuk kategori 'anak sekarang' itu. Semoga anak-anak saya pun tidak masuk kategori itu.

Tapi, tak semua pasangan 'nggak cocok' memilih berpisah. Banyak pula yang memilih mempertahankan pernikahannya. "Awet rajet," begitu kata orang Sunda. Bertengkar melulu tapi terus bertahan. Alasannya beragam. Misalnya, demi anak. Dalam model keluarga begini, kita akan sibuk mendaftar kesalahan pasangan sendiri. Kita cenderung menudingnya tak bertanggung jawab pada anak.

Sangka kita, kita lebih bertanggung jawab dan lebih baik pada keluarga. Kita lupa bahwa pasangan hidup, sedikit banyak, adalah cermin diri sendiri. Jika nilai rapornya menurut kita merah, hampir pasti merah pula nilai rapor kita. Kita tak lebih baik dari pasangan kita. Mengapa kita tak memperbaiki diri sendiri saja? Biarkan ia memperbaiki dirinya sendiri pula. Mengapa kita terus menjadikan anak sebagai 'senjata' buat menghadapi pasangan sendiri?

Ada pula model berkeluarga yang sekarang sedang menjadi 'tren'. Biasanya, posisi suami di keluarga sangat dominan. Ketika ekonomi keluarga kian mapan, dan ikatan suami-istri tak lagi terbungai perasaan berdebar-debar, suami pun membidikkan mata dan hati pada perempuan lain. Berzina jelas haram. Solusinya adalah pernikahan. Istri dengan istri dipersandingkan. Tak penting bagaimana perasaan istri yang dulu seperti dijanjikan menjadi ratu keluarga sepanjang usia.

Tak penting pula bagaimana perasan anak-anak, meskipun mereka merasa malu atas langkah ayahnya. Laki-laki demikian umumnya punya kemampuan untuk membuat istri dan anak-anaknya terdiam. Apalagi bila menggunakan alasan syariah. Sebuah format syariah yang berbeda dengan yang ditunjukkan pasangan Muhammad SAW-Khadijah: Mereka hidup bersama tanpa poligami hingga maut memisahkannya.

Perjalanan 20 tahun pernikahan saya tidak semeriah kawan-kawan itu. Pesta pernikahan saya dulu sederhana saja. Saya merasa tidak sepantasnya bila awal perjalanan dipestakan megah. Saya dan istri lalu mengisi pernikahan dengan langkah-langkah sederhana. Misalnya, untuk sama sekali tidak pernah meninggikan suara karena hanya akan saling melukai.

Juga untuk tidak mengatakan "saya kan sudah berkurban ..." karena pernyataan itu sebenarnya lebih merupakan ekspresi menuntut dibanding sungguh-sungguh berkurban. Kami saling mendoakan, juga mendoakan secara spesifik anak-anak dengan menyebut nama satu persatu, setiap habis shalat. Juga menciptakan suasana agar setiap anggota melangkah hanya yang dapat membuat semua anggota keluarga lain dapat berjalan 'tegak'. Itu langkah kami.

Kini hari-hari kami banyak terisi dengan duduk bersama menikmati kesenyapan dengan tangan saling genggam, menunggu Subuh diazankan. Sungguh itu merupakan karunia luar biasa. Sebuah kenyamanan yang mencetuskan tanya istri saya: "Mengapa pada banyak orang begini saja tidak bisa? Apa sulitnya?" Saya tak tahu jawabnya. Saya hanya bisa berkata "Terima kasih ya."

Sumber Zaim Ukhrowi dalam www.republika.co.id

Dedication for Celebrating of 10 years wonderful life. Terima kasih yang setia menyalakan lilin dalam hangatnya hati. Terus ya, jadi manikam berkilau untuk hidup jadi indah. Semoga DIA berkenan menyatukan kita dalam ikatan kebahagiaan hakiki, di sini, sampai nanti. You are still queen in my heart.