25 Januari 2009

Bersembunyi di Tempat Terang

Suatu malam, seorang pekerja sosial yang telah divonis menderita penyakit yang sulit disembuhkan karena kerja kerasnya yang keterlaluan dan sedang didera oleh kekambuhan, menemukan diri berada di tengah lorong gelap kesadarannya. Ia lalu mengabarkan keinginan terdalamnya kepada kesendirian. Katanya, "Sungguh aku ingin bersembunyi di tempat yang terang."

Keinginan itu membubung ke langit malam dan menggapai bintang-bintang. Saya tidak tahu apakah matahari juga ikut mendengarkan. Yang pasti, kalimat itu adalah sebuah harapan dalam kesendirian. Tidak ada yang bisa menganggukkan kepala dengan serta-merta sebagai tanda mengerti. Ketika diungkapkan, kediaman dinding dan eternit pun hanya meneguhkan.

Tetapi, keinginan itu mungkin termasuk kilatan hati yang bersifat rabbani, yang menggapai bintang-bintang, dan langsung disambut oleh pintu-pintu hati yang bersahaja.

Salah satunya oleh kesahajaan hati seorang remaja biasa; kesahajaan hati seorang mahasiswi tingkat akhir fakultas seni rupa dan desain dari sebuah perguruan tinggi di Bandung, yang biasa ber-jeans dan berkaos lengan pendek, menghabiskan waktu senggang di rumahnya dengan menonton film asing atau menikmati slow jazz, dan mengatasi tekanan proses pengusaian tugas akhirnya dengan jalan-jalan ke mal bersama kawan-kawannya.

Gadis ini sedang naik tangga sebuah pertokoan mentereng bersama sahabatnya, ketika tiba-tiba, seorang ibu tua pedagang rajutan yang duduk di samping trotoar, sedemikian mengganggu pikirannya. Ia lalu menggamit sahabatnya untuk mengurungkan niatnya berbelanja, turun lagi dari tangga yang hampir usai dijejakinya, menghampiri ibu tua itu, lalu memilih hasil rajutan terbesar sambil lupa semua standar penilaian desain bermutu yang secara akademis telah begitu dikuasainya.

Disodorkannya semua uang yang semula diniatkannya untuk membeli sebuah kaset. Dan, ketika dilihatnya, si ibu sedang mencari uang kembalian yang cukup besar, ditinggalkannya ibu itu.

Cahaya juga bersambut hanya dengan gelap malam sebagai saksi, ketika seorang gadis strata menengah hendak menjemput ibunya yang baru pulang dari luar kota di stasiun kereta api. Seorang pedagang bakso tahu yang telah keriput, yang duduk di pojok stasiun sambil terkantuk-kantuk dalam ketidakberdayaan yang menggigit, tiba-tiba merenggut konsentrasinya.

Berpaling dia ke pojok gelap itu, lalu dibelinya sepiring baso tahu dari pedagang tua itu, tanpa peduli kios-kios makanan yang begitu yakin menjajakan diri. Lalu, disorongkannya sepuluh ribu rupiah ke depan mata pedagang itu, dan sebelum pedagang itu sembuh dari kantuknya, kerejap cahaya keharuan menghalaunya untuk langsung berlalu.

Cahaya itu pun telah berkerejap tanpa peduli waktu. Sebelum keinginan untuk bersembunyi di tempat yang terang itu menjadi kalimat yang dilontarkan, telah ada cerita tentang orang-orang yang menolak untuk disebutkan identitasnya, tetapi diam-diam menyisihkan sebagian uang hingga tenaganya untuk disumbangkan ke panti asuhan, penggalangan dana bagi kelompok marjinal, dan banyak lagi.

Cahaya itu pun mungkin masih berkerejap dan akan terus berkerejap, kini dan nanti. Cahaya itu membuat orang-orang yang beruntung tiba-tiba terdorong untuk secara sadar menghindari pujian, dan merindukan terangnya cahaya memberi dengan tangan kanan tanpa sepengetahuan tangan kiri sebagai satu-satunya balasan.

Lalu? Saya menjadi sangat malu karena ketika itu, saya mungkin sedang tertidur pulas di kasur "egoistik" yang terlalu empuk.

Sumber: Miranda Risang Ayu dalam www.republika.co.id

18 Januari 2009

Mencintai Itu Keputusan

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya.

Sebentar kemudian ia pun berkata,"Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini". Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya dari Syam, Naila.

Selanjutnya adalah bukti.
Sebab cinta adalah kata lain dari memberi.
Sebab memberi adalah pekerjaan..
Sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat.
Sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama.
Sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh.
Maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, "Aku mencintaimu". Kepada siapapun!

Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian disitu. Aku mencintaimu, adalah ungkapan lain dari Aku ingin memberimu sesuatu.

Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari.....,
"Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia..."
"aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin..."
"aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang akan kulakukan padamu ..."
"aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu...."

Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita.

Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, "Aku mencintaimu", kamu harus membuktikan ucapan itu.

Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi. Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap.

Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.

Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.

Jalan hidup kita biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian, atau penurunan. Karena itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional.

Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Di situ konsistensi teruji.

Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tengah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat bagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.

Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh.

Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu

Segenggam Gundah (Ode untuk Para Ayah)

Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras sudah habis loh...," ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, "Ayah, besok Agus harus bayar uang praktek."

"Iya...," jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "Besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "Jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, "Ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah bereskan," meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, di antara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam.

Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.

oleh: Bayu Gautama

14 Januari 2009

Resensi Film "Perempuan Berkalung Sorban"

Jenis Film :Drama
Produser :Hanung Bramantyo
Produksi :Starvision

Cast & Crew
Pemain :Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Widyawati, Oka Antara, Reza Rahadian, Ida Leman
Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis : Hanung Bramantyo, Ginatri S. Noor

Ini adalah sebuah kisah pengorbanan seorang perempuan, Seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri. Anissa (Revalina S Temat), seorang perempuan dengan pendirian kuat, cantik dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Qur'an, Hadist dan Sunnah. Buku modern dianggap menyimpang.

Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang.

Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Hanya Khudori (Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan 'dunia' yang lain bagi Anissa.

Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Jogja dan diterima tapi Kyai Hanan tidak mengijinkan, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Anissa merengek dan protes dengan alasan ayahnya.

Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian),
seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataan Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai.…

Apakah cinta anissa dan Khudori berakhir di pernikahan? Bagaimana hubungan Anissa dan kedua orang tuanya dan Samsudin suaminya? Apakah Anissa dapat menjadi muslimah seperti yang diinginkan orang tuanya? Saksikan di bioskop-bioskop mulai 15 Januari 2009

http://blog.nikenike.net/2005/08/15/perempuan-berkalung-sorban/
http://www.21cineplex.com/perempuan-berkalung-sorban,movie,2004.htm

09 Januari 2009

Jokes of The Day

Rokoknya gak jadi aja deh
Bapak tua: "Aduuuuh . . . Haduuuuh"
Cowok panik kepada ibu penjaga warung: "Bu! Bu! Itu ada orang di luar teriak-teriak. Itu . . . gembel kali ya bu?"
Ibu penjaga warung: "Itu suami sayaaaaa!"
(Tebet, didengar dari dalam mobil oleh istri si cowok panik, yang tanpa sengaja telah melindas kaki si bapak tua)


Aku tiba-tiba gak nyaman di sini...
Anak lelaki 4 tahun: " Arti pecah belah apa sih, ma?"
Ibu: "Kalo itu kamu pecah, kamu mama belah."
(Toko pecah belah Pondok Indah Mal, didengar oleh wanita yang sampai hampir memecahkan belanjaannya)


Itu mah sekali jepret langsung lari...
Pembeli rese: "Mas,ada kamera paranoid ga?"
Penjaga bingung: "Hah?"
Pembeli rese: (nada sok tau) "Itu yg sekali jepret langsung jadi..."
(Studio Foto, didengar oleh wanita yang membayangkan ekspresi kamera ketakutan)


Gak bisa diusahain, mas?
Internet addict: "Mas, di sini ada hotspot-nya gak?"
Pelayan: "Kebetulan restoran kami hanya menyediakan makanan Indonesia dengan penyajian standard, mbak."
(Restoran di Kemang, didengar oleh seseorang yang hampir menelan sendok)


Kan sekarang jaman mahal!
Si bungsu perempuan ke Ibunya: "Jadi nanti kita daftar TV Kabelnya di Kebon Jeruk yah"
Ibu dengan wajah berseri-seri: "Ya, mending begitu. Kebon Jeruk kan enggak terlalu jauh dari rumah. Jadi nanti kabelnya bisa lebih pendek. Lebih murah."
(Rumah di Kemanggisan, didengar oleh kakak lelaki yang ingin menjedutkan kepalanya ke tembok)


Kalo sinyalnya menipis mungkin namanya berubah...
Nyokap: "Ini hape ibu ada G-String-nya ngga?"
Anak: (bengong, berharap salah denger) "Hah?"
Nyokap: "Ini Nokia 3300 ibu ada G-String-nya apa ngga?"
Anak: (masih bengong dan masih berharap salah denger) "G-String?"
Nyokap: "Iya. Itu lho, yang kalo nelepon kita bisa liat muka orang yang teleponan sama kita."
Anak: "Yaoloh! 3G?"
Nyokap: "Nah itu dia. Emang tadi ibu ngomongnya apa?"
(Didengar oleh anak yang sempat takut ibunya mulai bercerita tentang kumbang dan bunga)


Tambah satu kilo, saya lapar...
Pembeli: "Mas, beli paku tembok...."
Penjual: "Berapa?"
Pembeli: "Setengah kilo aja..."
Penjual: "Dibungkus?"
Pembeli: (dengan wajah kesal) "Gak! Makan sini!"
(Toko bangunan Bekasi, didengar pelanggan yang ingin menyediakan sambal)


Buah simalakama...
Ibu pengemudi yang tiba-tiba panik: "De, pegangin setirnya. Mama mau garuk pantat!"
Anak laki-laki berusia 18 tahun: "Ah, Mama! Gak mau ah!"
Ibu pengemudi yang tiba-tiba panik: "Kamu mendingan megangin setir apa garukin pantat Mama?"
(Tol Jagorawi, didengar anak perempuan di belakang yang ingin melompat keluar mobil)


Sehat bener ya, jaringannya...
Programmer 1: "Kemaren internet gua udah onlen, cuy"
Programmer 2: "Wah selamat-selamat, download pelm lah kita, gak perlu nonton serial di tipi!"
Coordinator: "Gaya bener lo pada, mentang-mentang udah pada pasang internet bearbrand..."
(Sebuah warung makan, didengar oleh teman-teman yang langsung bergulingan)


Yang horisontal kalau bisa!
Di sebuah restoran,
Teman #1: "Eh udahan yuk, kite cabs.."
Teman #2: "Gua aja yang panggilin.. Mas! Billboardnya ya!
(Restoran di Jakarta, didengar oleh banyak orang yang merasa kasihan dengan pelayannya)


Dulu di percetakan ya, mas?
Penjaga Parkir: "Wah mas, stiker parkir langganannya udah exemplar nih, besok diperpanjang ya."
(Perkantoran Sudirman, didengar oleh pengemudi yang akhirnya sadar ada tulisan EXP di stikernya)


Otomatis ya, mbak?
Kasir: "Mau order apa, mas?"
Pembeli: "Coca-Cola large satu, sama french fries satu... Itu aja, mbak."
Kasir: "Oke, saya ulang ya, Coca-Cola large satu, french fries large satu. Mau tambah kentang gorengnya, mas?"
(Restoran fastfood di Jakarta, didengar oleh pembeli yang merasa dicekokin)


Cewek & Rokok: Tidak baik untuk kesehatan?
Cowok berisik: "Jadi waktu itu gue lagi ngeliatin cewek cakep bener, terus gue nyalain rokok. Tapi yang kebakar malah BULU HIDUNG gue!"
(Trotoar dekat Plaza Senayan, didengar oleh pejalan kaki yang hampir tersandung)


Yuk,mareeee...
Petugas Atmosfear sambil menunjuk ke panel kamera: "Mas, nanti waktu meluncur jangan lupa melambai ya?"
Pemuda gemulai: "Ngondek maksud loe?"
FX, didengar oleh pengunjung yang terpingkal-pingkal sendiri.


Mungkin kacamata plus, Pak?
Lelaki Paruh Baya: "Mbak, pesanan saya yang kwetiau ganti deh."
Pelayan: "Jadi apa pak?"
Lelaki Paruh Baya: "Mau coba Ayam Nangkring deh..."
Pelayan: "Ayam Nanking maksud bapak?"
Lelaki Paruh Baya: "Eh, gak jadi deh.." (berpikir sambil liat menu) "Ini aja deh kalo gitu, Chicken Garden Blue...."
(Solaria, Mal Pondok Indah, didengar oleh pengunjung yang berasa ditonjok hidung dan kemudian ulu hatinya)


Money can't buy everything...
Cowo Tajir: "Wah, gua baru beli notebook baru, canggih, keren..."
Cowo Kere: "Oh ya, notebook loe merknya apaan?"
Cowo Tajir: "Microsoft."
(Perkantoran Hijau di Jakarta Selatan, didengar oleh cowo kere yang ngerasa otaknya lebih tajir)


Bis sekarang teladan...
Cewe baru belajar nyetir: "Gua itu paling males nyetir di belakang bis, tau sendiri kan bis suka ontime nunggu penumpang... "
(Kelapa Gading, didengar oleh saudara yang malas menjelaskan perbedaan besar "ontime" dan "ngetem")


Ini salah jari atau otak ya?
Lelaki sibuk di handphone: "Halo X, gua telepon ke nomor satunya ya (tutup) Halo... (mulai ngomong panjang lebar)... Lho? Ini siapa? Oh sorry, salah sambung! (memencet nomor lagi) Halo Y, loe gimana sih, ngasih nomer X ke gua kok salah sih! Gimana sih loe? (diam sesaat) Lho? Ini bukan Y ya? Sorry salah sambung..."
(Bank Swasta Pondok Indah, didengar oleh istri yang langsung tambah asik membaca email di BlackBerry-nya)


Itu beda lho...
Pengunjung: "Mbak, Coke-nya satu ya, pake es..."
Pelayan: "Maaf Mbak, Coke-nya gak ada, adanya Diet Coke."
Pengunjung: (Menunjuk menu) "Terus ini apa, Coca-Cola... Kok dibilang gak ada?"
Pelayan: "Kalau Coca-Cola ada, Mbak..."
Pengunjung: "Huh!"
(Cafe di FX, didengar oleh satu meja yang bersepakat menyuruh pelayan training ulang)


Wah, udah lama gak merhatiin dia...
Ibu mengejek anak kecil bersepeda: "Ih, lihat tuh, badan segede gitu kok masa naik sepeda sekecil itu, hahaha... (sesaat kemudian)... Lah, itu anakku!"
(Perumahan di Jakarta, didengar oleh teman yang langsung terbahak-bahak)


Ya namanya juga bajakan...
Saat nonton DVD,
Calon mahasiswa S1 FasilKom: "Oi itu jangan lupa kemsyen-nya. ."
Teman #1: "Kemsyen apaan sih?"
Calon mahasiswa S1 FasilKom: "Itu kemsyen... kemsyen, masa gitu aja ga tau sih?"
Teman #2: (mencari fasilitas "kemsyen" di menu) "Gak ada ah..."
Calon mahasiswa S1 FasilKom: "Itu lho, kemsyen en subtitiles.. ."
Apartemen daerah Kemanggisan, didengar oleh semua teman yang ingin mengumpulkan dana buat les bahasa inggris.


AC/DC gityuuu looooh...
Ketua Panitia: "Naahh.. pin yang ini desainnya bagus nih. Bisa buat cewek dan cowok. Biseks gitu!"
(Rapat Buka Bersama, didengar oleh sepasukan panitia yang merasa si ketua terlalu banyak nonton porno)


Lengkap banget deh...
Pelayan: "Minumnya, mbak?"
Teman #1: "Teh tawar anget"
Teman #2: "Saya... Teh manis anget"
Pelayan: "Hot tea... dan sweet ice tea hot" (tampang pede dan nyatet)
(Sebuah resto di Plasa Senayan, didengar oleh 2 orang teman yang mesem-mesem dan segera membenarkan ucapan pelayan tersebut)


Jadi selama ini masih ada yang lain?
Ibu menasehati anak perempuan semata wayang: "Nduk, waktu ibu punya anak perempuan seusiamu..."
(Didengar oleh kakak lelaki yang langsung berpikir apakah dia punya saudara kandung lain)


Emangnya gua badak?
Cewe mau ikut kursus: "Mbak, kalo disini ada kelas conservation gak?"
(Didengar oleh Student Advisor yang berasa di LSM)


Saya menghormati sejarah...
Account Executive: "Baik, kalau begitu kita meeting lagi Senin tanggal 20..."
Klien Besar: "Tanggal 20 itu hari Sabtu. Kita meeting Senin tanggal 22."
Account Executive: "Tapi tanggal 22 itu hari Rabu. (diam sesaat) Ups, my mistake, ini kalender tahun lalu."
(Didengar oleh semua kolega yang ingin membungkus AE itu dan mengirimnya ke Timbuktu)


I'm not worthy, I'm not worthy...
Klien Besar: "Ya sudah, besok kita meeting lagi ya...."
Account Executive: "Wah, bu, besok tidak bisa, kami ada janji dengan klien lain."
Klien Besar: (memandang sinis) "I am not your client... I am your god."
(Perkantoran di Gatot Subroto, didengar oleh seluruh tim agensi yang langsung menyatu dengan kursi masing-masing)


Yang pasti bisa buat nyelem...
Lelaki di toko kacamata: "Yang itu dong, Mbak... Liat...."
Pramuniaga: "Nah yang ini keren, Mas... Bahannya juga bagus, Titanic..."
(Optik di Mangga Dua, didengar oleh pengunjung yang ingin mendorong pramuniaga ke laut)


Makanannya seru deh!
Cowo: "Kemaren gua sama cewe gua buka puasa di PS 2..."
(Didengar oleh semua teman yang merasa cowo itu terlalu banyak main game)


Jaman susah sih....
Pada saat telepon gratis dua detik pertama,
Cowo Hemat: "Kamu dimana? (tutup) Apa? (tutup) Pulang... (tutup) PULANG! (tutup) Aku bilang kamu pula... Ah, goblok lebih dari dua detik!" (tutup)
(Didengar oleh teman yang ingin merebut dan merebus handphone itu)


Jangan terlalu mateng ya!
Pria duduk dan langsung berteriak memesan: "Mas, Ovaltine bakar satu!"
(Warung Tenda Jakarta, didengar oleh seseorang yang hampir jatuh dari kursinya)


Menurut sejarah, gak baik loncat-loncat...
Ditengah sebuah konser,
Wanita Bingung: "Waduh... Minggir, minggir, kacamata saya jatuh... Awas jangan diinjak!"
Lelaki Baik: "Kenapa mbak, kenapa?"
Wanita Bingung: "Ini mas, kacamata saya jatuh, duh gimana ya?"
Lelaki Baik: "Sini saya bantu cariin. Wah si mbak nih, makanya lompatnya pelan-pelan, jangan terlalu histori..."
Wanita Bingung: "Histori?"
(Senayan, didengar oleh penonton lain yang tiba-tiba tidak bisa loncat lagi)


Kalo nyapa yang bener dong... HUH!
Penjaga Toko: "Silahkan kak, Giordano..."
Lelaki Gemulai Nan Jutek: (Menatap sinis) "Sorry! Nama gua bukan Giordano!"
(EX, didengar oleh teman-temannya yang langsung berteriak "Apaan sih tcooooong!")


Ini yang salah ngerti siapa ya?
Pria: "Mbak, pesen es teh manis..."
Pelayan: "Es-nya habis mas..."
Pria: "Ya udah, es teh tawar..."
Pelayan: "Iya, mas..."
(Restoran di Jakarta, didengar oleh pengunjung lain yang berpikir cara buat es...)


Maksud gua buat naruh barang!
Mahasiswa S2 mengomel: "Heran gua, hotel sebesar ini gak ada ballroom-nya! "
Teman: "Emang loe mau ngapain, resepsi?"
Mahasiswa S2: "Mau minta koper gua dibawain ke kamar nih!"
Teman: "Bellboy kaleeeee!"
(Hotel bintang lima di Kebon Sirih, didengar oleh semua teman gaulnya yang memaklumi mahasiswa yang baru saja tidak lulus TOEFL)


Gak usah pake mangkok aja!
Nyonya: "Mbak, tolong beliin bakso di ujung jalan sana ya, beli empat bungkus, dua campur pake mie, dua baksonya aja..."
PRT Baru: "Yang baksonya aja pake kuah gak, bu?"
(Jakarta, didengar oleh seseorang yang tertawa gila-gilaan)


Pengetahuanmu luas, nak...
Mahasiswa #1: "Eh, lo demen Mocca gak?"
Mahasiswa #2: (berpikir sebentar) "Halal gak?"
Mahasiswa #1: "Ya elah, bukan mocca minuman, tapi Mocca band!"
Mahasiswa #2: (dengan begitu PD) "Ah, kalo band-band luar negeri gitu gua nggak demen..."
(Jakarta, didengar oleh seseorang yang memejamkan mata dan berteriak dalam hati)


Belum, lagi jelek koneksinya.
Researcher: "Eh pensil gua kemana ya?"
Researcher Khusyuk Internetan: "Kenapa loe?"
Researcher: "Pensil gua ilang! Loe tau gak dimana? Udah gua cari kemana-mana nih! Mana sih ya?
Researcher Khusyuk Internetan: "Udah loe cari di google belum?"
(R&D Jakarta, didengar oleh satu divisi yang merasa salah satu dari mereka kena penyakit internetan akut)


Kalo bisa yang triple L!
Ibu #1: "Saya yang well-done ya."
Pelayan: "Baik, bu. (Ke ibu lainnya) Ibu steaknya mau gimana?"
Ibu #2: "Maksudnya mas?"
Pelayan: "Mau yang medium atau..."
Ibu #2: (Memotong dengan mantap) "Ooooh, saya yang large aja, mas!"
(Restoran Steak di Jakarta Selatan, didengar oleh ibu lain yang merasa harus membenahi make-up tiba-tiba)


Makanya perhatian dong!
Si Pemimpi: "Gua pengen bikin bagasi gua jadi home theater deh.."
Si Serius: "Hah, gimana caranya?"
Si Pemimpi: "Ya nanti gua mau tambahin (mulai penjelasan teknis)."
Si Serius: "Home theater portabel gitu?"
Si Pemimpi: "Ya nggak lah, gimana caranya loe bawa-bawa bagasi?"
Si Serius: "Ya ditenteng gitu? Eh, maksud loe bagasi apa nih?"
Si Pemimpi: "Ya itulah! Yang tempat parkir mobil... Masa loe gak tau sih?"
Si Serius: "Euh, itu kayaknya garasi kali!"
(Reuni alumni di Jakarta, didengar oleh seseorang yang langsung harus ke kamar kecil)


Ah, jangan buka rahasia dong...
Tukang Sate: "Masnya apa nih?"
Mahasiswa Tegas: "Gua kambing! (ke temannya) Loe?"
Mahasiswa gemulai: "Aku ayam..."
(Pondok Sate di Jakarta Barat, didengar oleh mahasiswi yang merasa mendengar pengakuan)


Yang penting kan tata krama!
Pembeli Santun ke Penjual Sop Kaki: "Daging tiga sama kaki dua, udah itu aja. Eh, kakinya yang kanan ya!" (Semua pengunjung tertegun)
Penjual Sop Kaki: "Mmmm, kenapa harus yang kanan, Pak?"
Pembeli Santun: "Yaaa, biar lebih sopan aja... Kakinya yang kanan gituuu!"
(Tenda Sop Kaki Kambing di Tebet, didengar semua pengunjung yang hampir tersedak)


Abis Bapak selalu pengen gabungin semua alternatif sih!
Account Director ke klien: "Tapi pak hal itu sulat dilakukan! (hening) Euh, saya mau milih antara sulit dan sukar malah keluar dua-duanya."
(Kantor di Gatot Subroto, didengar oleh kolega yang diam-diam melipir)


Saya kan gak pernah ngerti dunia itu!
Pejabat: "Selamat sore, hari ini adalah hari yang bahagia karena kita menjadi tuan rumah untuk event internasional yaitu Festival Seni Koremponter. ..."
(Seluruh hadirin tertawa)
Pejabat: "Maksud saya Korentomper. .."
Tamu Gemas: "Kontemporer, pak!"
Pejabat: "Ya harap maklum, saya kan bukan seniman!"
(Galeri Nasional Jakarta, didengar oleh hadirin yang langsung mengeluarkan palu dan pahat)


Ini tindak lanjut yang penuh cinta!
Reporter: "Pak, bagaimana perkembangan kasus korupsi X, apakah ada tindak lanjut dari instansi bapak, seperti pemberian sanksi ?"
Pejabat: "Sejauh ini masih kita pantau dulu, hal ini sedang dibicarakan bagaimana-bagaimananya"
Reporter: "Apakah justru ini melibatkan orang dalam pak?"
Pejabat: "Loh, anda tidak boleh sembarangan begitu... Kita harus lihat situasi ini kiss per kiss nya..."
Reporter: "Maksud bapak case by case ?"
Pejabat: (malu) "Iyalah gitu."
(Kantor Kepemerintahan, didengar oleh kameraman yang menutup mulutnya takut dicium....)


Kan lulusan S3 Ilmu Angkotan!
Pengendara Motor Gak Sabar: "Maju dong! Dasar Bego!"
Supir Angkot Intelektual: "Kalo gua bego, gua gak bakal jadi supir angkot tau!"
(Di bawah flyover Depok, didengar oleh penumpang angkot yang tiba-tiba mempertanyakan pendidikan yang dia jalani selama ini)


Gak mau tawar aja?
Mahasiswa Genit ke penjual kantin yang cantik: "Mau es teh... manis.."
(Kantin kampus Jakarta, didengar oleh teman yang tiba-tiba sok belajar buat UAS)


Si Pitung ada gak, Beh?
Penonton Berisik: "Naaah, nyang itu no Neo namenye, si Neo, Neo..."
Adegan di Layar: "Hello, Mr. Anderson..."
Penonton Berisik: "Eh bukan ding, bukan Neo... itu Mr. Anderson namanya!"
(Bioskop pinggiran Jakarta Timur, didengar oleh penonton di depan yang memilih antara tertawa atau melempar popcorn)


Hindari makanan cepat saji..
Penumpang biasa dari kota: laper nih, tuh ada tempat makan, kita pesen drive thru aja, biar bisa langsung bawa pulang..
Pengemudi kaya dari desa: okedeh.... (setelah sampai) ng.. mbak pesen drive-thru nya dua..
(perut penumpang itu mendadak kenyang)


Penuh pengertian...
Pelayan ramah: selamat siang, mau makan disini atau di bawa pulang?
Pembeli kikuk: makan-nya di meja saja, masa' mau makan disini? (sambil menoleh kasian ke orang yang antri di belakangnya)
(Pengantri di belakangnya tiba-tiba pindah ke antrian lain..)


Fasilitas POM Bensin..
Penumpang rewel: aduhh, belet pipis banget nihhhh!!!
Pengemudi santai: iya, bensinnya juga tinggal dikit kok..
(penumpang lain lalu berpikir kalo kencing adalah bahan bakar alternatif)



Sumber : milis e-ketawa

If Tomorrow Never Comes

Sometimes late at night
I lie awake and watch her sleeping
She's lost in peaceful dream
So I turn out the light
And lay there in the dark
And the thought crosses my mind
If I never wake in the morning
Would she ever doubt
The way I feel about her in my heart

(1)
If tomorrow never comes
Will she know how much I loved her
Did I try in every way
To show her every day
That she's my only one

(2)
And if my time on earth were through
And she must face this world without me
Is the love I gave her in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes

'Cause I've lost loved ones in my life
Who never knew how much I loved them
Now I live with the regret
That my true feelings for them
Never were revealed
So I made a promise to myself
To say each day how much she means to me
And avoid that circumstance
Where there's no second chance
To tell her how I feel

Go to: (1), (2)

So tell that someone that you love
Just what you're thinking of
If tomorrow never come

Taken from Ronan Keating, If Tomorrow Never Comes

[A tribute to The Three Magnificents, yang 'subhanallah' terus menyalakan api dalam hangatnya hati]

08 Januari 2009

A Moment for Gratitude

Ditengah harumnya melati
Dan alunan nasyid dalam senyuman
Kuucapkan selamat padamu,
Karena kaulah hamparan firdausi itu
Hingga aku akan selalu menjenguknya
Untuk menyaksikan bunga yang senantiasa bermekaran

Bersyukurlah pada Allah jua
Karena sebelum ini …
Kalian adalah sepasang merpati yang memadu kasih
Sebab, pada Allahlah sudah
Kalian menambatkan hati hari demi hari
Sebab, pada Allahlah sudah ..
Kerinduan kalian membuncah tiada bertepi
Sebab, pertemuan kalian pada jenak perjalanan didunia ini
Adalah bersatunya tilawah agungkan Sang Maha Kasih
Tanpa bunga-bunga merah jambu
Yang memalingkan wajah kalian dari Ilahi

Dan saat ini kala kalian saling ucapkan janji
Untuk menghitung hari
Yang semakin meninggalkan mentari pagi
Biarlah itu terpatri pada jiwa dan hati
Yang terbaca pada mata pancarkan bahagia tiada terperi

Semoga kalian terima segala warna jelaga
Atau putih menyala disana
Sebab ada kesunyian dalam gempita
Dan hiruk pikuk dalam damai dan luka

Kalian tidak akan pernah sama
Tapi adalah belahan jiwa dari dunia yang berbeda
Dan sujud syukurmu dalam suka,
Serahkan aliran darah dan denyut jiwa
Hanya pada-Nya saja …

Diadaptasi dari puisi ‘Kepada Mempelaiku’ - Diana Gustinawati

07 Januari 2009

Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya:
"Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!"
Suamiku menjawab:
"Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku."
Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa.

Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatam kan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku:
"Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah."
Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:
"Oh ya. Ide bagus itu."

Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan.

Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah.

Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: "Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!"

Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. "Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!"

Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu.

Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, "Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!" Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi.

Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya.

Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: "Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!"

Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.

Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?"

Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?

Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didamba.

Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, "Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang."

Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan.

Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.

Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata: Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu!

Sumber : Neno Warisman - 'Izinkan Aku Bertutur'

Sudah Bisa Hidup Tenang

“Tenang sudah hidup saya…” ia menghela nafasnya panjang seakan itu tarikan terakhirnya. Puas sekali, bukan, sangat puas bahkan yang tergambar di wajahnya. Binar matanya menyiratkan kebahagiaan hidup yang dijalaninya selama bertahun-tahun.

Ia memiliki isteri yang cantik, yang menjadi perantaran kelahiran seorang putri jelita serta tiga ksatria kecilnya. Rumah besar, berhalaman dan latar belakang yang luas. Kolam renang yang menyegarkan di kelilingi taman bunga yang indah menenteramkan pandangan. Bekerja dengan penghasilan yang takkan pernah habis hingga tanggal gajian berikutnya tiba, mobil mewah, serta beragam kenikmatan dunia lainnya yang tak dimiliki separuh lebih penduduk bumi ini.

“Apa yang membuat Anda tenang?” saya memberanikan diri bertanya kepadanya.

“Saya sudah mengasuransikan diri dan keluarga. Jika saya atau isteri dan anak-anak sakit, tidak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit. Berapa pun, akan ditanggung oleh asuransi,” jelasnya.

“Itu saja?”

“Oo tidak! Bahkan saya sudah mengasuransikan rumah, mobil dan seluruh harta yang saya miliki. Sehingga kalau pun rumah kebakaran, mobil hilang, saya tidak akan merasa sedih…”

“Apa lagi… ?”

“Tentu saja saya memiliki asuransi pendidikan untuk anak-anak sampai mereka meraih gelar doktor. Selain itu, terpenting dari semuanya, asuransi jiwa terbaik pun sudah saya pilih. Jika saya meninggal nanti, isteri dan anak-anak akan mendapatkan dana asuransi hingga setengah milyar. Lebih dari cukup, sekadar menambah tabungan yang ada saat ini… indah bukan?”

Saya mengangguk. Mencoba memahami makna ketenangan hidup yang dinikmatinya. Sejurus kemudian, “Ada satu lagi asuransi yang belum Anda miliki…”

Ia tertegun. Dahinya mengerut, menerka-nerka apa yang saya pikirkan. Namun ia tak berhasil. Karena menurutnya, segala jenis program asuransi sudah dimilikinya.

“Ini program asuransi yang baru. Belum ada di perusahaan asuransi manapun,” saya membuatnya penasaran.

“Coba bandingkan, apakah asuransi jiwa yang Anda miliki bisa dinikmati sendiri setelah kematian Anda? Ya, Anda sendiri yang menikmatinya, bukan ahli waris Anda. Apakah asuransi Anda memberi kesempatan perlindungan di akhirat nanti?” ia semakin bingung.

“Bagaimana mungkin saya yang sudah mati bisa menikmatinya? Program asuransi macam apa itu? Bank mana yang mengeluarkan program itu? Berapa preminya per bulan?” sederet pertanyaan pun mengalir.

Nalarnya memang takkan pernah sampai. Memang belum pernah ada sebelumnya asuransi yang bisa dinikmati sendiri oleh si pemegang polis setelah kematiannya. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati bisa menikmati klaim asuransi?

***


Yang dimaksud di sini memang bukan asuransi biasa. Premi yang dibayarkan berupa amal shaleh, dan ilmu yang terus dibagi kepada siapapun. Membuat Allah tersenyum, adalah asuransi dahsyat yang tanpa kita klaim pun, hasilnya boleh kita nikmati sesudah kematian menjemput.

Satu hal lagi bentuk investasi yang sangat menguntungkan dunia akhirat, yakni jika memiliki anak, bimbinglah agar tetap shaleh hingga dewasa, ia akan meringankan beban orang tuanya dengan doa yang tak henti dipintanya. Tahukah Anda, anak-anak itu senantiasa berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil”. Indah bukan?

Tertarik? Mulailah detik ini juga! (Gaw)
sumber : Ust. Bobby Herwibowo

04 Januari 2009

Aku Ingin Melihatmu Menikah di Atas Awan

Apa kesibukan telah membuatmu lupa
akan bunga yang hampir saja kau petik karena harumnya?
Atau purnama yang hampir saja kau peluk karena bening cahyanya?
Tolong, jangan biarkan sepi jadi milikku
Walau kita sama tahu, sepi bisa jadi ramai dalam benak
Kau adalah sehelai terang yang membuat imajiku melayang tinggi
Hingga telah kuhabiskan tiga purnama untuk menasbihkan namamu
Bahkan kini awan tiada berbentuk lagi
Sebab telah kuambil sebagian darinya
Untuk kurajut kujadikan gaun pengantinmu
Tapi wahai engkau bidadari surgaku,
Mengapa belum jua kau hampiri aku
Padahal aku ingin melihatmu menikah di atas awan

Selamat berpetualang, Kasihku
Pergilah ke dunia luar, Sayangku
Kepakkan sayapmu di angkasa, Cintaku
Jadilah apa pun yang kau mau
Dan doaku akan menyertaimu, Selalu..

Sumber: Mega Everistianawati

9 Kado Cinta

1. Cintaku padamu adalah seperti cinta seorang bocah Abdurrahman Faiz yang berkata pada ibunda Helvy Tiana Rosa, Bunda, aku mencintai Bunda seperti aku mencintai surga. Maka biarlah bila ada luka di wajahmu yang goresannya tersamar dan kasat mata, akan kuseka luka itu dengan tetes embun dari surga. walau kau bilang kau telah menyekanya dengan tetes embun dari duka. Maka biarlah bila ada luka di wajahmu, akan kubasuh luka itu dengan air dari telaga. walau kau bilang kau telah membasuhnya dengan air dari nestapa. Sayang, maka biarlah bila ada luka di wajahmu, akan kurawat luka itu dengan segala cinta. Walau kau bilang itu bukanlah luka. itu hanyalah goresan yang timbul karena hampa.

2. Cintaku padamu adalah seperti cinta seekor kupu-kupu yang bergelayutan di penghujung malam Tuhan yang basah embun itu. Maka biarlah bila kau ingin menjelma menjadi seekor kupu-kupu kuning yang cantik. Yang selalu saja tersenyum pada bunga-bunga yang menebarkan wanginya. Tapi pada sepertiga malam itu kutemukan kau termangu hening. Ada bunga mekar dalam pikirmu yang kemudian rontok didera hujan. Maka pada malam-malam berikutnya, aku tak lagi menemukanmu terbang berkendara awan. Kau lebih suka angin malam membelai sayapmu yang tipis itu. Ketika penghujan tiba, mengikis segala rasa, aku memaki Tuhan, "Mengapa Kau ambil dia, wahai kekasih langitku yang kekuatan-Mu menggenggam erat jiwaku dan jiwa dia. aku hilang arah, sedang gerhana yang bersembunyi di peraduan kasih-Mu belum jua kutemukan!" Sahabat, kau adalah kupu-kupu yang bergelayutan di penghujung malam Tuhan yang basah embun itu. Ketika rambutku tak menentu usai melebur dengan-Nya, tiba-tiba saja kau memarahiku. Padahal kala itu aku baru saja selesai berpacaran dengan Tuhan di atas telaga tempat ikan mas memadu kasih dengan bayang rembulan yang bayang keperakannya menerpa telaga. Kau tahu? bisik lembut-Nya membakar nyala dalam kelam kamarku. Sahabat, maka kumohon jangan pernah lagi marah padaku. Aku berjanji tak akan pernah lagi mendera kau dengan kataku. Atau, biarkan saja aku di sini. Terapung-apung sampai mati.

3. Cintaku padamu adalah seperti cinta seorang Dewi Pelindung Cinta yang selalu saja gelisah bila ada ikatan cinta yang hampir putus. Maka ketika ikatan itu putus kau serapahi malaikat-malaikat yang pernah hadir pada hari pertunangan itu. Kau perintahkan angin untuk membatalkan gaun pernikahan yang bahkan belum disulam oleh awan. Kau sampaikan salam duka pada peri-peri yang tengah menyirami melati untuk kelak diambil kuncupnya dijadikan ronce. Kau kabarkan pada dewa dewi di langit untuk menyimpan kado pelangi untukmu. Karena ikatan itu putus sudah. Maka, itu asamu pupus. Hatimu hancur menjelma karang-karang pantai yang terus dihantam ombak pasang. Yang terasa perih setiap kali dijilat asinnya air laut. ingin kau bersembunyi dalam bumi menjelma wortel, tapi daun wortel terlalu lemah. ia selalu saja menjerit setiap kali ada pahlawan tak dikenal yang tertembak mati tersungkur ke tanah.maka ingin kau menjelma jadi kunang, tapi cahaya kunang selalu kalah terang dengan lampu-lampu kota. Ingin kau sekokoh piramid. Ingin kau segarang dunia dan batu-batu. Tapi yang kini terasa olehmu hanyalah sesak dalam dada. Seperti ditindih batu besar berulang-ulang. Itu luka, pedih, perih, mengapa selalu saja kau yang punya.Maka biarlah aku yang membasuh lukamu itu. Menggambar cinta pada langit bahagiamu. Memberi kecupan pada daun wortel gundah gulanamu. Membaui pada suci tubuhmu. Melukis pada gerak elok lambaian tanganmu. Menghitung sayang pada setiap helai rambutmu. Ini tanganku biar menjadi pengganti sayap patahmu. Karena kau dan aku adalah satu.

4. Cintaku padamu adalah seperti cinta seorang nakhkoda pada lautan yang selalu saja ingin bisa merakit ombak sebagai perahu. Maka kupinta kau menceritakan padaku apakah kapal yang kau tumpangi t'lah kehilangan seorang nakhoda. Aku ingin kita ciptakan cerita perahu bernahkoda. Kau yang jadi nakhodanya, aku yang jadi penumpangnya. Bersama kita bernyayi tentang satu ingin. Tetapi kau tak ingin menjelma nakhoda yang tak bisa merakit ombak sebagai perahu, padahal gumintang pun enggan singgah di biduknya. Maka kau biarkan angin menjelmamu jadi camar. Lalu kau memintaku untuk memberi ruang pada waktu tuk mengikis lapuk kayu, setelah tugasnya tertunai barulah aku s'bagai embun bisa menyejukkan rinainya. Maka aku titahkan pada ketenangan untuk menemanimu hingga kau kembali padaku. Maka aku tunggu kau wahai Putri sang Hidup. Semoga buritan sudi mengikis jelaga suram dibilik asa mu itu. Sayang, andai aku angin kan kubawa kau pergi berkendara awan hingga hilang segala gundah gulanamu itu hingga menyatu kau dan aku hingga lenyap terkikis malam semua jelaga di bilik itu. Sayang, aku tak pernah bilang bahwa asamu terkikis di atas serumpun badai, karena kuyakin sekilas angin mampu menyemerbakkan matahari.

5. Cintaku padamu adalah seperti cinta mereka yang terkapar dalam perjalanan panjang negeri ini: yang tak lagi bisa melihat sebab nestapa senantiasa menghitam-arangkan hidup mereka. Maka kusampaikan salam pada malam yang menyelimuti gembel-gembel emperan toko yang terseok di lorong-lorong ketakutan akan bayangan masa depannya: tanpa gairah, tanpa kata, hanya bunyi perut-perut busung, dan kembang kempis dada-dada kurus. Maka kusampaikan salam pada Sihar Ramses Simatupang yang berkata padaku, yang kugeleparkan malam itu dan mengelepak ke jendela rumahmu, adalah anak-anakku. ya, mereka anakmu. Mereka juga adalah anak-anakku.Sesungguhnya mereka adalah anak-anak negeri ini, tetapi mengapa peradaban negeri ini selalu saja menggilas mereka? melemparkan mereka ke pucuk-pucuk emperan dan dahan-dahan kolong jembatan? Maka kuakui mereka sebagai anak-anakku sebagaimana Sihar yang juga mengakui mereka sebagai anak-anaknya, sebab negeri ini seolah tak mau mengakui mereka! Kusampaikan salam pada anak-anakku yang kerap kali menggelinjang karena disetubuhi angin malam.

6. Cintaku padamu adalah seperti cintamu wahai perempuan yang menampar cat di atas kanvas.maka kuseru kau, wahai perempuan yang menampar cat di atas kanvas. Yang tak lagi mencipta mawar putih dalam goresan-goresannya. Bahkan menyulapnya menjadi mawar merah. Mawar merah, katamu, adalah wujud marahmu. Maka kuseru kau, wahai perempuan yang menampar cat di atas kanvas dengan kemarahan. Kemarahan yang mampu merobohkan pohon-pohon hutan jati Jepara. Kemarahan yang mampu menyisir permadani padang-padang sabana. Kemarahan yang membentuk buritan di awan-awan atas sana. Lalu menambatkan angker di haluan gumpalannya. Serta menghentikan laju dalam sadarnya. Maka kemarahanmu wahai perempuan penampar cat, menghasilkan gegana di langit-langit semesta, memekakkan mereka yang tak lagi bisa mengerti kata, membisukan lidah yang bungkam bicara. marahmu wahai perempuan pelukisku, meledak menghantam karang-karang dunia, memanaskan batu-batu di padang-padang sahara, membutakan mata yang gelap hatinya, melatahkan penguasa yang hendak mencari muka, menghitamkan wajah dengan pakaian kebesarannya, menghancurkan mereka yang tak lebih dari hewan melata, mematikan mereka yang mementingkan golongannya, melumpuhkan kaki yang berdiri di atas penderitaan sesamanya. Wahai perempuanku yang menampar cat dengan jemari-jemari indahnya, kemarikan dadamu. Biar kutampar cat di atas ranum dua bukitmu.

7. Cintaku padamu adalah seperti cinta seorang penyair gila yang merindukan bulan. Maka biarlah kucipta sebait syair bulan. Dan kupersembahkan bagi bening hatimu. kau tahu? Malam ini mendung, tapi bulan pantulkan cahyanya. hingga pijar bintang tersamar di udara. Sinar bulan yang menerpa telaga memantulkan sisik-sisik keemasan. Lou han terpojok di sudut sana. Maka syair tentang bulan adalah gejolak hasrat dua pemudi yang dipisahkan jarak antara Jakarta-Hongkong. Dan kesunyian terpecah di angkasa. Hancur dilumat gairah membara. Menjadi kepingan yang segera menjelma menjadi sebait syair bulan.

8. Cintaku padamu adalah seperti cinta sinar dan bayangan yang pernah tercetak di garis batas. Maka pernah suatu ketika bayang tercetak di garis batas menjelma garis-garis wajah seorang lelaki. Garis-garis wajah itu membentuk wajah Adam dan dengannya menebar pesona. Menabur benih cinta dengan kata-kata, sehingga seorang Hawa terpesona. Ditanamnya bunga-bunga di garis batas. Namun sang Adam malah memetik bunga-bunga di garis khatulistiwa. Maka sejak saat itu bunga-bunga tiada bermekaran. Garis-garis wajah seorang lelaki yang tercetak di garis batas, kini menjelma jadi bayang.

9. Cintaku padamu adalah seperti cinta seorang perempuan tua di pagi bisu yang merangkul kabut pada sepi bukit.maka tertatihlah perempuan tua itu dalam nanar fajar yang tak kunjung tiba. Bertanya, apakah Mega masih di balik cakrawala. Perempuan tua di pagi bisu yang telinganya pekak dihujam kabut telah diterkam rindu selama duabelas tahun. Menunggu seorang anak perempuannya yang memeras keringat di negeri orang. Kapankah akan segera pulang?

(http://rinifardhiah.blogspot.com/)