30 November 2009

Bergabung dengan Ledakan BlackBerry

Tan Malaka, tokoh perjuangan yang begitu dipuja sebagian orang Indonesia, boleh saja mengatakan, “Imajinasi adalah takhayul yang meremehkan rasionalitas.” Tapi itu akan menjadi bahan tertawaan para inovator sejati. “Bukti kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, melainkan imajinasi,” begitu kata Albert Einstein.

Imajinasi, ya siapa yang bisa mengalahkannya. Sejumlah penemu hebat masa kini telah membuktikannya. Ketika pasar telepon seluler pintar atawa smartphone didominasi oleh Nokia dan sejumlah PDA berbasis Windows Mobile, imajinasi para teknokrat muda menggetarkan dunia. Steve Jobs datang dengan iPhone. Jim Balsillie dan Mike Lazaridis melahirkan BlackBerry. Dan, yang terbaru, para developer Google merilis Android.

Pasar ponsel pintar kemudian pecah berkeping-keping. Sebagian pasar itu direbut Balsillie dan Lazaridis. Sejak awal 1990, imajinasi kedua orang itu membubung ke langit. “Kami tahu surat elektronik akan menjadi fondasi bisnis, menggantikan faks.” Imajinasi mereka adalah membaca surat elektronik (surel) di ponsel di mana saja. Itulah yang membuat mereka kini bisa merebut separuh kue pasar ponsel pintar yang dikuasai Nokia.

Orang-orang di belahan Amerika Serikat dan Kanada sampai-sampai punya anggapan, bisnis hari gini tak mungkin bisa jalan tanpa BlackBerry.

Imajinasi pula yang membuat iPhone melejit. Saat sejumlah ponsel cuma sibuk dengan urusan mempercantik desain, Steve Jobs punya imajinasi lain: membubuhkan pengalaman luar biasa pada sentuhan jari. Mereka menginvestasikan jutaan dolar Amerika untuk melahirkan ponsel yang kaya grafis, intuitif, dan bisa bekerja dengan satu atau dua sentuhan jari.

Hasilnya? Meski pendatang baru, iPhone tiba-tiba menjadi “demam” di mana-mana. Orang rela antre semalam suntuk saat peluncuran iPhone baru. Penjualan iPhone pun meroket. Pasar mereka mencapai separuh penjualan BlackBerry atau seperempat ponsel pintar Nokia.

“Inovasi. Itulah yang membedakan antara pemimpin dan pengikut,” begitu kata Jobs.

Meski sudah ada tiga inovasi penting, dunia rupanya tak pernah sesak oleh inovasi. Selalu saja ada ruang bagi inovasi baru. Lahirlah Android. Ini sistem operasi di ponsel yang dikembangkan secara keroyokan oleh banyak developer di dunia. Motornya adalah para programmer Google. Siapa saja boleh menambahkan inovasi di sistem ini, juga boleh memakainya secara gratis. Ini namanya open source.

Sebanyak 18 vendor ponsel dunia mendukung sistem ini. Contohnya Motorola, Samsung, dan LG. Mereka kini penantang serius kemapanan yang dibangun Nokia, BlackBerry, dan iPhone. Lahirnya ponsel Cliq bikinan Motorola adalah buktinya. Mereka memiliki kekayaan fitur layar sentuh seperti iPhone, tapi juga papan ketik QWERTY seperti BlackBerry.

Software baru Android ini terus dikembangkan oleh Google dan programmer lainnya di seantero dunia. Versi terbarunya yang dijuluki Donut diperkirakan akan mengguncang pasar ponsel pintar.

Pasar ponsel pintar telah meledak: terjual 155 juta pada 2008 dan diharapkan akan meningkat dua kali lipat pada 2012.

Apakah programmer–dan pengusaha–Indonesia hanya akan menjadi penonton “ledakan” ini? Mengapa tidak bergabung dengan pusaran ledakan, misalnya bergabung dengan Android? Masak Indonesia cuma jadi pedagang dan pasang merek seperti FunBerry dan LuveBerry?

Oct 24,2009 burhan Portal
blog.tempointeraktif.com

Twitter yang ‘Gendeng’

Siapa yang berani menyalahkan Evan Williams. Para konglomerat yang telah menggelontorkan ratusan dolar pun tak sanggup menyalahkan Williams.

Ia masih belia. Usianya baru 37 tahun. Sejarah Internet sudah dua kali menulis namanya dengan tinta emas. Dialah penemu istilah “blogger” sekaligus pencipta situs Blogger.com–yang akhirnya dibeli Google. Dia pula peletak fondasi situs mikroblog, yang cuma mengandalkan komunikasi dengan 140 huruf, yakni Twitter.

Sudah tiga tahun, sejak Williams dan Biz Stone mendirikan Twitter pada 2006, Twitter belum mencetak uang. Tapi itu tak membuatnya panik setitik pun.

“Ini menggelikan,” kata William dengan tawa renyah. “Semua orang bertanya, bisnis macam apa ini.” Tiga tahun bekerja, tiga tahun menyedot perhatian puluhan juta pengguna, tapi mereka tak menghasilkan uang. Kalau orang Betawi melihat bisnis dua lelaki yang tak lulus kuliah itu pasti geleng-geleng dan berkata. “Bahkan jualan kambing bandot pun lebih jelas model bisnisnya.”

Tapi Twitter jelas bukan bisnis ala pedagang kambing akikah. Hari ini memborong kambing, besok atau lusa melegonya. “Mencetak uang bukanlah prioritas tertinggi jika Anda membangun bisnis dengan nilai yang bisa bertahan dalam jangka panjang,” kata William.

Selama tiga tahun berdiri ini, Twitter lebih terlihat sebagai sensasi kultural ketimbang sebuah bisnis. Twitter telah meraih 55 juta pelanggan–lima negara terbanyak penggunanya adalah Amerika Serikat, Inggris, Brasil, Spanyol, dan Indonesia (sungguh mengejutkan!). Mereka berkomunikasi dari urusan remeh-temeh, seperti @sherinamunaf (ini nama akun di Twitter) yang asyik meledek pacarnya @radityadika, sampai urusan gempa di Padang, protes di Iran, dan bantuan untuk banjir di Filipina. Williams dan Stone tak terlihat terburu-buru menyulap situs itu menjadi mesin uang.

Mungkin Williams dan Stone mengikuti jejak Google. Goliath Internet itu selama bertahun-tahun tak jelas model bisnisnya. Memasang iklan baris–betapa kunonya sebenarnya dibandingkan dengan iklan banner ala Yahoo!–selama bertahun-tahun tanpa tujuan yang jelas. Google juga membeli situs blog, Blogger, milik Williams walau tak ada pengiklan yang mau pasang. Sebelum mereka untung, Google akhirnya meraih kucuran modal ventura sebesar US$ 25 juta (sekitar Rp 235 miliar) pada 1999.

Prestasi Twitter lebih baik daripada Google pada 1999. Saat ini mereka telah mendapat gerojokan modal US$ 100 juta (Rp 940 miliar). Para pemodal itu ternyata juga tak kalah “gendeng”. Mereka tak meminta Twitter segera untung. “Saya lebih tertarik memikirkan bagaimana kami meraih 100 juta atau lebih pelanggan ketimbang berpikir cara mendapatkan uang,” kata Fred Wilson, pemilik Union Square Ventura, sekaligus pendukung pertama Twitter. Wow, betapa nikmatnya.

Mengapa di Indonesia tak banyak orang “gendeng” yang berani membiayai inventor-inventor belia seperti di Negeri Abang Sam sono, ya? Seandainya di Indonesia ada orang seperti Fred Wilson ataupun pemodal-pemodal yang membiayai Bill Gates atau Steve Jobs, Indonesia tak akan cuma jadi “target pasar” inovasi seperti Microsoft, Facebook, dan Twitter. Situs koprol.com mungkin bisa seterkenal Twitter. Pesta Blogger 2009 akan penuh anak-anak muda dengan otak brilian.


Oct242009 | burhan | Digital
evan williams, Twitter
blog.tempointeraktif.com

28 November 2009

Kambing

Seorang teman pernah bercerita kepada saya tentang cara orang tuanya mendidiknya menyambut Idul Adha. Seperti halnya anak-anak masyarakat adat Lampung yang cukup berada, teman saya itu diamanatkan orang tuanya untuk memelihara calon kambing korban itu sebagai miliknya sendiri. Hangatnya kebanggaan yang polos dari seorang anak yang tiba-tiba menemukan diri sudah dianggap cukup besar untuk "memiliki" makhluk hidup, telah lebih dari cukup untuk mengawali sebuah cerita perawatan yang indah. Kambing itu gampang gemuk karena ia dipelihara dengan tekun tidak sebagai anggota gerombolan, tetapi sebagai unikum, dengan ketulusan putih natural dari seorang anak.

Menariknya, pendidikan paling penting justru terletak pada hari raya, ketika hubungan perawatan yang indah antara si anak dan si kambing harus berakhir dengan membuncahnya darah si kambing di ujung pedang. Padahal, kambing itu sudah menjadi yang tersayang, begitu dikenal, nyaris seperti diri anak perawat itu sendiri. Pernah, ketika seekor kambing terkulai mati, sang anak perawat kepala bertanduk itu sampai hampir ikut roboh. Itu pedang seperti menyembelih leher anak itu sendiri.

Sebagian orang tentu menganggap bahwa pendidikan ini agak keterlaluan. Tega sekali membesarkan kambing hanya untuk disembelih, lalu untuk membesarkannya, menugaskan seorang anak kecil pula. Kalaupun peri kehewanan tidak layak menjadi diskursus hati, bagaimana jika si kambing yang sudah kepalang gemuk dan begitu merasa nyaman di samping tuannya itu berontak ketika akan disembelih? Ini hanya menambah jeri hati si anak.

Pendidikan macam begitu? Lupakan saja. Atau, dari awal saja si anak perawat disuruh memberi si kambing hanya sisa rumput kering, mengurungnya di tempat gelap, dan meniadakan haknya untuk disayang, karena akhirnya, bukankah itu kambing akan disembelih juga. Biar kurus kering putus asa dia dan mudah saja dibelit tangan kakinya untuk dibanting ke tanah dan dibuat tak berkutik dalam hitungan detik. Dengan begitu, tidak ada rasa sakit dalam hati si anak, karena kambing itu tidak menjadi amanat. Dan kambing itu? Tak usah peduli, ia bukan manusia.

Dua alternatif terakhir ini logis juga. Tetapi, si anak akan kehilangan wahana berlatih menerima perpasangan kepemilikan dan kehilangan sebagai tempat kematangan hati berkembang. Ini baru kambing, bagaimana jika yang harus mati adalah sesuatu yang paling disayang, seperti orang tercinta, atau bahkan diri sendiri?

Yang pasti, jika gemuruh takbir menyapa beranda hati, satu malam saja, dan hangat gulai kambing menghangatkan persendian, satu hari saja, dengan sejuk dahi menyapa sajadah, beberapa detik saja, bersyukurlah atas pengingatan Allah yang masih demikian indah.

Bayangkanlah jika Idul Adha adalah malam lembur di depan komputer 24 jam, pagi berlari menyerahkan pekerjaan, dan fajar adalah kebingungan mencari gelaran shalat berjamaah di tengah masyarakat yang penganut Islamnya memang hanya satu-dua orang. Lalu, hangat pagi pun bukan hangat gulai ketupat dan pelukan, tetapi hanya semangkuk mi plastik tanpa handai taulan. Di negara-negara Barat, hal ini ada kenyataannya, mungkin bahkan tidak satu-dua.

Tetapi, Allah adalah Yang Maha Pengasih dan bukan yang suka pilih kasih. Dalam situasi itu, ada kambing yang dapat tetap disembelih, dibagikan, dan dihikmati dengan kesyukuran. Kambing itu adalah ego sendiri, yang selalu lebih percaya pada kenikmatan dalam bayangan daripada kenikmatan yang tersembunyi di sekitar kenyataannya, sepedih apa pun kenyataan itu, tampaknya.

Miranda Risang Ayu

26 November 2009

Ibadah Qurban

Qurban dalam istilah fikih adalah Udhiyyah yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata Qurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah.

Mempersembahkan persembahan kepada tuhan-tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejak lama. Dalam kisah Habil dan Qabil yang disitir al-Qur'an disebutkan:

Qurtubi meriwayatkan bahwa saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu cantik. Dalam ajaran nabi Adam dianjurkan mengawinkan saudara kandung perempuan mendapatkan saudara laki-laki dari lain ibu. Maka timbul rasa dengki di hati Qabil terhadap Habil, sehingga ia menolak untuk melakukan pernikahan itu dan berharap bisa menikahi saudari kembarnya yang cantik. Lalu mereka sepakat untuk mempersembahkan qurban kepada Allah, siapa yang diterima qurbannya itulah yang akan diambil pendapatnya dan dialah yang benar di sisi Allah. Qabil mempersembahkan seikat buah-buahan dan habil mempersembahkan seekor domba, lalu Allah menerima qurban Habil.

Qurban ini terus dikenal oleh umat Yahudi untuk membuktikan kebenaran seorang nabi yang diutus kepada mereka, sehingga tradisi itu dihapuskan melalui perkataan nabi Isa bin Maryam.

Tradisi keagamaan dalam sejarah peradaban manusia yang beragam juga mengenal persembahan kepada Tuhan ini, baik berupa sembelihan hewan hingga manusia. Mungkin kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya adalah salah satu dari tradisi tersebut. Dalam al-Qur'an dikisahkan:

37. 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

37. 103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

37. 104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,

37. 105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu[*] sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. [*] Yang dimaksud dengan "membenarkan mimpi" ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksanakannya.

37. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

37. 107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[*]. [*] Sesudah nyata kesabaran dan keta'atan Ibrahim dan Ismail a.s. maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari Raya Haji.

Persembahan suci dengan menyembelih manusia juga dikenal peradaban Arab sebelum Islam. Disebutkan dalam sejarah bahwa Abdul Mutalib, kakek Rasululluah, pernah bernadzar kalau diberi karunia 10 anak laki-laki maka akan menyembelih satu sebagai qurban. Lalu jatuhlah undian kepada Abdullah, ayah Rasulullah. Mendengar itu kaum Quraish melarangnya agar tidak diikuti generasi setelah mereka, akhirnya Abdul Mutalib sepakat untuk menebusnya dengan 100 ekor onta. Karena kisah ini pernah suatu hari seorang badui memanggil Rasulullah "Hai anak dua orang sembelihan" beliau hanya tersenyum, dua orang sembelihan itu adalah Ismail dan Abdullah bin Abdul Mutalib.

Begitu juga persembahan manusia ini dikenal oleh tradisi agama pada masa Mesir kuno, India, Cina, Irak dan lainnya. Kaum Yahudi juga mengenal qurban manusia hingga Masa Perpecahan. Kemudian lama-kelamaan qurban manusia diganti dengan qurban hewan atau barang berharga lainnya. Dalam sejarah Yahudi, mereka mengganti qurban dari menusia menjadi sebagian anggota tubuh manusia, yaitu dengan hitan. Kitab injil penuh dengan cerita qurban. Penyaliban Isa menurut umat Nasrani merupakan salah satu qurban teragung. Umat Katolik juga mengenal qurban hingga sekarang berupa kepingan tepung suci.

Pada masa jahilyah Arab, kaum Arab mempersembahkan lembu dan onta ke Ka'bah sebagai qurban untuk Tuhan mereka. Ketika Islam turun diluruskanlah tradisi tersebut dengan ayat Allah:

5. 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah [389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram [390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya [391], dan binatang-binatang qalaa-id [392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya [393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.

Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya. Dalam hadist riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai "untuk apa sembelihan ini?" belian menjawab: "Ini sunnah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim a.s." lalu sahabat bertanya:"Apa manfaatnya bagi kami?" belau menjawab:"Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan" sahabat bertanya: "Apakah kulitnya?" beliau menjawab: "Setiap rambut dari kulit itu menjadi kebaikan".

Qurban juga ditujukan untuk memberi makan jamaah haji dan penduduk Makkah yang menunaikan ibadah haji. Dalam surah al-Hajj ditegaskan"

22. 34. Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).

Begitu juga dijelaskan:

22. 27. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus [*] yang datang dari segenap penjuru yang jauh, [*]. "Unta yang kurus" menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.

22. 28. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. "Hari yang ditentukan" ialah hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.



Dalil-dalil qurban:
1. Firman Allah dalam surah al-Kauthar: "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah". Ayat ini boleh dijadikan dalil disunnahkannya qurban dengan asumsi bahwa ayat tersebut madaniyyah, karena ibadah qurban mulai diberlakukan setelah beliau hijrah ke Madinah.
2. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik r.a.:"Rasulullah berqurban dengan dua ekor domba gemuk bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau dengan membaca bismillah dan takbir, beliau menginjakkan kakinya di paha domba".


Hukum Qurban
1. Mayoritas ulama terdiri antar lain: Abu Bakar siddiq, Uamr bin Khattab, Bilal, Abu Masud, Said bin Musayyab, Alqamah, Malik, Syafii Ahmad, Abu Yusuf dll. Mengatakan Qurban hukumnya sunnah, barangsiapa melaksanakannya mendapatkan pahala dan barang siapa tidak melakukannya tidak dosa dan tidak harus qadla, meskipun ia mampu dan kaya.

Qurban hukumnya sunnah kifayah kepada keluarga yang beranggotakan lebih satu orang, apabila salah satu dari mereka telah melakukannya maka itu telah mencukupi. Qurban menjadi sunnah ain kepada keluarga yang hanya berjumlah satu orang. Mereka yang disunnah berqurban adalah yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan sehari-harinya yang kebutuhan makanan dan pakaian.

2. Riwayat dari ulama Malikiyah mengatakan qurban hukumnya wajib bagi mereka yang mampu.


Adakah nisab qurban?
Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran seseorang disunnahkan melakukan qurban.
Imam Hanafi mengatakan barang siapa mempunyai kelebihan 200 dirham atau memiliki harta senilai itu, dari kebutuhan tinggal, pakaian dan kebutuhan dasarnya.
Imam Ahmad berkata: ukuran mampu quran adalah apabila dia bisa membelinya dengan uangnya sendiri walaupun uang tersebut didapatkannya dari hutang yang ia mampu membayarnya.

Imam Malik mengatakan bahwa ukuran seseorang mampu qurban adalah apabila ia mempunyai kelebihan seharga hewan qurban dan tidak memerlukan uang tersebut untuk kebutuhannya yang mendasar selama setahun. Apabila tahun itu ia membutuhkan uang tersebut maka ia tidak disunnahkan berqurban.

Imam Syafii mengatakan: ukuran mampu adalah apabila seseorang mempunyai kelebihan uang dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, senilai hewan qurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyriq.


Keutamaan qurban
1. Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda:"Amal yang paling disukai Allah pada hari penyembelihan adalah mengalirkan darah hewan qurban, sesungguhnya hewan yang diqurbankan akan datang (dengan kebaikan untuk yang melakukan qurban) di hari kiamat kelak dengan tanduk-tanduknya, bulu dan tulang-tulangnya, sesunguhnya (pahala) dari darah hewan qurban telah datang dari Allah sebelum jatuh ke bumi, maka lakukanlah kebaikan ini". (H.R. Tirmidzi).

2. Hadist Ibnu Abbas Rasulullah bersabda:"Tiada sedekah uang yang lebuh mulia dari yang dibelanjakan untuk qurban di hari raya Adha" (H.R. Dar Qutni).

Waktu penyembelihan Qurban
Dari Jundub r.a. :Rasulullah melaksanakan sholat (idul Adha) di hari penyembelihan, lalu beliau menyembelih, kemudian beliau bersabda:"Barangsiapa menyembelih sebelum sholat maka hendaknya ia mengulangi penyembelihan sebagai ganti, barangsiapa yang belum menyembelih maka hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah". (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dari Barra' bin 'Azib, bahwa paman beliau bernama Abu Bardah menyembelih qurban sebelum sholat, lalu sampailah ihwal tersebut kepada Rasulullah s.a.w. lalu beliau bersabda:"Barangsiapa menyembelih sebelum sholat maka ia telah menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang siapa menyembelih setelah sholat maka sempurnalah ibadahnya dan sesuai dengan sunnah (tradisi) kaum muslimin"(H.R. Bukhari dan Muslim).


Hadist Barra' bin 'Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda:"Pekerjaan yang kita mulai lakukan di hari ini (Idul Adha) adalah sholat lalu kita pulang dan menyembelih, barangsiapa melakukannya maka telah sesuai dengan ajaran kami, dan barangsiapa memulai dengan menyembelih maka sesungguhnya itu adalah daging yang ia persembahkan untuk keluarganya dan tidak ada kaitannya dengan ibadah"( H.R. Muslim).

Imam Nawawi menegaskan dalam syarah sahih Muslim bahwa waktu penyembelihan sebaiknya setelah sholat bersama imam, dan telah terjadi konsensus (ijma') ulama dalam masalah ini. Ibnu Mundzir juga menyatakan bahwa semua ulama sepakat mengatakan tidak boleh menyembelih sebelum matahari terbit. Adapun setelah matahari terbit, Imam Syafi'i dll menyatakan bahwa sah menyembelih setelah matahari terbit dan setelah tenggang waktu kira-kira cukup untuk melakukan sholat dua rakaat dan khutbah. Apabila ia menyembelih pada waktu tersebut maka telah sah meskipun ia sholat ied atau tidak.


Imam Hanafi mengatakan: waktu penyembelihan untuk penduduk pedalaman yang jauh dari perkampungan yang ada masjid adalah terbitnya fajar, sedangkan untuk penduduk kota dan perkampungan yang ada masjid adalah setelah sholat iedul adha dan khutbah ied.
Imam Malik berkata: waktu penyembelihan adalah setelah sholat ied dan khutbah. Imam Ahmad berkata: waktunya adalah setelah sholat ied.

Demikian, waktu penyembelihan berlanjut hingga akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Tidak ada dalil yang jelas mengenai batas akhir waktu penyembelihan dan semua didasarkan pada ijtihad, yaitu didasarkan pada logika bahwa pada hari-hari itu diharamkan berpuasa maka selayaknya itu menjadi waktu-waktu yang sah untuk menyembelih qurban.


Menyembelih di malam hari
Menyembelih hewan qurban di malam hari hukumnya makruh sesuai pendapat Imam Syafii. Bahkan menurut imam Malik dan Ahmad: menyembelih pada malam hari hukumnya tidak sah dan menjadi sembelihan biasa, bukan qurban.


Hewan yang disembelih
Imam Nawawi dalam syarah sahih Muslim menegaskan telah terjadi ijma' ulama bahwa tidak sah melakukan qurban selain dengan onta, sapi dan kambing. Riwayat dari Ibnu Mundzir Hasan bin Sholeh mengatakan sah berqurban dengan banteng untuk tujuh orang dan dengan kijang untuk satu orang.

Adapun riwayat dari Bilal yang mengatakan: "Aku tidak peduli meskipun berqurban dengan seekor ayam, dan aku lebih suka memberikannya kepada yatim yang menderita daripada berqurban dengannya", maksudnya bahwa beliau melihat bahwa bersedekah dengan nilai qurban lebih baik dari berqurban. Ini pendapat Malik dan Tsauri.
Begitu juga riwayat sebagian sahabat yang membeli daging lalu menjadikannya qurban, bukanlah menunjukkan boleh berqurban dengan membeli daging, melainkan itu sebagai contoh dari mereka bahwa qurban bukan wajib melainkan sunnah.


Makan daging qurban
Hukum memakan daging qurban yang dilakukan untuk dirinya sendiri, apabila qurban yang dilakukan adalah nadzar maka haram hukumnya memakan daging tersebut dan ia harus menyedekahkan semuanya. Adapun qurban biasa, maka dagingnya dibagi tiga, sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk dihadiahkan dan sepertiga untuk disedekahkan. Membagi tiga ini hukumnya sunnah dan bukan merupakan kewajiban. Qatadah bin Nu'man meriwayatkan Rasulullah bersabda:"Dulu aku melarang kalian memakan daging qurban selama tiga hari untuk memudahkan orang yang datang dari jauh, tetapi aku telah menghalalkannya untuk kalian, sekarang makanlah, janganlah menjual daging qurban dan hadyu, makanlah, sedekahkanlah dan ambilah manfaat dari kulitnya dan janganlah menjualnya, apabila kalian mengharapkan dagingnya maka makanlah sesuka hatimu"(H.R. Ahmad).

Sebaiknya dalam melakukan qurban, pelakunyalah yang menyembelih dan tidak mewakilkannya kepada orang lain. Apabila ia mewakilkan kepada orang lain maka sebaiknya ia menyaksikan.

Oleh Ustadz Muhammad Niam

10 November 2009

Para Pahlawan yang Diciptakan

Para pahlawan tak pernah dilahirkan tapi diciptakan. Mereka diciptakan mula-mula dan pertama bukan untuk dijadikan role-model agar diteladani atau ditiru, melainkan untuk meneguhkan narasi "perjuangan nasional merebut kemerdekaan". Pendeknya: untuk kepentingan mereproduksi narasi nasionalisme secara kontinyu. Dengan itu, narasi perjuangan nasional yang terjadi pada masa lampau yang jauh bisa terus menerus "dihadirkan" dalam kekinian.

Selanjutnya, barulah para pahlawan yang “diciptakan” untuk kepentingan naratif itu diharapkan jadi role-model yang bisa diteladani dan ditiru.

Tapi, peneladanan dan peniruan itu bukan area yang leluasa untuk diisi secara mana-suka [arbitrer]. Apa yang bisa diteladani dan ditiru hanya aspek-aspek yang berkaitan dengan kepentingan melanggengkan narasi nasionalisme itu tadi; sejenis imajinasi reproduktif [imaginative reproduction, dalam istilah Paul Ricoeur] yang minimalis sifatnya karena hanya mengulang-ulang bayangan masa silam.

Tak penting bagaimana latar belakang seorang pahlawan nasional mengangkat senjata terhadap para penjajah. Menjadi tak penting bagaimana perlawanan Diponegoro --salah satunya-- dipicu oleh sesuatu yang sebetulnya privat: karena Belanda mencabut patok yang menandai tanah milik leluhurnya. Yang pokok dan ditonjolkan adalah fakta bahwa Diponegoro angkat senjata terhadap Belanda!

Itu sebabnya, pribadi seperti Syafruddin Prawiranegara sukar untuk ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Betapa pun besar jasanya saat memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia [PDRI] di Sumatera Barat, fakta bahwa Sjafruddin "terlibat" dengan peristiwa PRRI/Permesta membuatnya masuk dalam daftar nama yang telah merongrong narasi nasionalisme.

Yang penting dari Sjafruddin adalah fakta bahwa ia pernah bergabung dengan PRRI/Permesta. Tak penting lagi motivasi Sjafruddin itu sebenarnya dipicu oleh sesuatu yang bisa jadi prinsipil, seperti membela kepentingan daerah, menentang sentralisme, dll.

Dari sudut itu, jika ada petani dari Kedungombo melakukan perlawanan terhadap militer Orde Baru yang mengambil-alih tanahnya secara semena-mena dengan alasan terinspirasi sikap Diponegoro di masa lalu, sikap itu pastilah tak bisa diterima. Alasan itu sesuatu yang subversif. Dalam sekali hentak petani itu sudah menempatkan dirinya sebagai reproduksi atas Diponegoro, seraya pada saat yang sama menjadikan negara sebagai reproduksi dari sosok pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Kepahlawan, dengan demikian, sebenarnya adalah sebuah bab dari buku babon nasionalisme yang disusun melalui proses pemilahan, penyuntingan dan penambahan pelbagai elemen yang dianggap penting untuk membuat narasi kepahlawanan itu menjadi meyakinkan, memiliki daya pukau yang mencengkau, jika perlu diselubungi cahaya kekeramatan.

Proses pemilahan dan penyuntingannya penuh dengan prosedur birokratis, dimulai dari usulan masyarakat, diperiksa dan diteliti Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD), lantas Gubernur (pemerintah daerah) melanjutkan ke Badan Pembina Pahlawan Nasional yang ada di Departemen Sosial (Depsos), dan terakhir diserahkan pada Presiden yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).

Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006 memuat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Di antaranya: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, berskala nasional serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh sudah meninggal. Sepanjang proses itulah para kandidat pahlawan nasional diperiksa, diteliti, diselidiki: pendeknya dipilih, dipilah, diselidiki "secara klinis" untuk memastikan tidak ada virus, bakteri, cela dan dosa yang terlalu signifikan untuk diabaikan.

Tapi itu saja tak cukup. Begitu seseorang ditetapkan sebagai pahlawan, dilakukanlah penambahan elemen-elemen yang dianggap bisa memperkokoh kekuatan naratifnya. Penambahan elemen itu bisa berupa pemilahan dan penyempurnaan foto atau lukisan si tokoh, mereproduksi serta menyebarkannya melalui banyak medium [terutama buku pelajaran atau biografi ringkas yang disebarkan ke sekolah], hingga ritus-ritus yang diulang pada momen penting dalam kehidupan si tokoh yang relevan untuk ditonjol-unggulkan.

Itu sebabnya, pengangkatan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional di era Soekarno melibatkan Augustin Sibarani yang ditugaskan untuk membuat potret Sisingamangaraja XII yang saat itu memang belum ada potret atau gambarnya. Itu pula yang dilakukan Muhammad Yamin yang "sukses" memperkenalkan gambar wajah Gajah Mada berdasar --begitulah dikabarkan-- satu arca yang ditemukan di Trowulan. Mahapatih Majapahit itu punya peran sentral dalam imajinasi persatuan dan kesatuan Indonesia karena Sumpah Amukti Palapa yang pernah diucapkannya.

Semua itu penting karena tak ada pahlawan yang tak ada gambarnya. Potret wajah pahlawan diperlukan untuk membuat narasi kepahlawanannya menjadi lebih nyata, lebih terasakan, sehingga kekuatan auratiknya bisa disingkap dan diwedarkan sedemikian rupa.

Jika kita cermati gambar wajah para pahlawan nasional, terutama para pahlawan dari era sebelum dikenalnya fotografi, ada ciri yang nyaris menonjol: paras mereka rata-rata tampak meyakinkan, seakan tak mengandung keraguan dan kebimbangan, kadang meluap suasana kebesaran, gabungan antara kewaskitaan dan keningratan, menyembul semacam pamor, kombinasi antara tingginya "rasa" dan luhurnya silsilah.

Dengan potret dan gambar itulah para pahlawan "tampak" hadir dalam kekinian. Kata "tampak" perlu diberi penekanan karena para pahlawan itu memang tak benar-benar hadir, tapi "dihadirkan", itu pun tidak dalam satu intensi yang menyatu dengan kekinian, melainkan berjarak, sekaligus tak tersentuh, dan terkadang wingit alias keramat.

Itu sebabnya salah satu kriteria yang harus dipenuhi bagi para kandidat pahlawan adalah ia harus sudah meninggal dunia. Kematian membuat sosok seorang pahlawan menjadi "tertutup" sekaligus "terbuka".

Kematian membuatnya "tertutup" karena dengan itu kisah hidupnya telah rampung dan sepak terjangnya sudah berakhir. "Ketertutupan" itu kemudian membuatnya terbuka untuk disunting, dikurangi, diisi, atau ditambahi elemen-elemen baru. Versi resmi penyuntingan dan penambahan itulah yang terbaca dari buku-buku putih, buku pelajaran sejarah dan buklet-buklet yang disebarkan ke perpustakaan sekolah dan museum.

Gambar atau potret wajah, ritus peringatan, buku pelajaran, buklet dan biografi-biografi resmi yang dikeluarkan negara membuat kepahlawanan seseorang menjadi bergerak, bergulir dan menebarkan pengaruhnya; semacam "ground" --dalam kosa kata Charles Sanders Peirce-- yang membuat suatu tanda bisa berfungsi dengan pengaruh yang kuat juga kokoh.

Menjadi pahlawan nasional berarti dinaikkan derajatnya, tapi pada saat yang sama sang pahlawan dibingkai sedemikian rupa dengan elemen-elemen yang belum tentu mereka setujui dan inginkan seandainya mereka bisa ditanyai kembali. Bisa dipahami jika di Amerika Latin ada satir begini: "Satu-satunya yang diinginkan para pahlawan yang dipuja adalah mereka tak ingin menjadi pahlawan."

Mungkin hanya dengan cara berpikir macam inilah kita bisa mengerti kenapa Bung Hatta, saat menghadiri pemakaman Soetan Sjahrir di Taman Makan Pahlawan Kalibata, sempat berbisik pada seseorang: "Tak akan saya biarkah orang-orang memperlakukan ini pada saya [dimakamkan di taman makam pahlawan]."

Ya, taman makam pahlawan, yang sebagiannya diisi oleh makam para pahlawan tak dikenal, punya jalinan semiotis yang sedikit berbeda. Pada taman makam pahlawan dan kubur-kubur tanpa nama itu, menguar satu aura kepahlawanan yang berbeda kekhasannya.

Kita tak tahu siapa mereka, tak penting pula di sana benar-benar ada jenazah yang terbukur atau tidak. Kita tak peduli "bilamana dia datang" atau "untuk siapa dia datang", meminjam frase Toto Sudarto Bachtiar dalam sajak terkenalnya, Pahlawan Tak Dikenal. Nisan-nisan tanpa nama itu sendiri sudah lebih dari cukup untuk dilekati pelbagai makna secara lebih mana-suka [arbitrer].

"Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen- makam para tentara tak dikenal. …Makam-makam tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui," tulis Ben Anderson dalam salah satu halaman Imagined Communities.

Khayalan nasional yang menghantui itu bisa bermacam-macam, efeknya juga bisa mengingatkan tapi bisa pula membikin lupa. Pahlawan berikut tugu dan monumennya mula-mula mengingatkan kita pada peran dan jasa orang-orang yang dikuburkan di sana bagi tanah air, juga bagi kita di hari ini. Tapi pada saat yang sama bisa juga membuat kita terpukau dengan kemegahan, keindahan dan kerapihannya -- pendeknya: melalui estetika masa silam.

Keterpukauan atas estetika masa silam itu bisa membuat kita kehilangan daya untuk mengingat dan mengartikulasikan pelbagai hal yang tertanam di bawah fondasinya: kekerasan yang tergelar di baliknya, darah para korban tak bersalah yang tertumpah, dusta-dusta sejarahnya, juga semiotika kekuasaan yang terjalin dengan rapi dan halusnya.

www.politikana.com
writer: kalangwan