23 Desember 2010

Bunda, Mandikan Aku Sekali Ini Saja ...

Dewi adalah sahabat saya, ia adalah seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not to be the best?,'' begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Kampus, mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.

Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, "Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya ?" Dengan sigap Dewi menjawab, "Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna". "Everything is OK !, Don’t worry Everything is under control kok !" begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.

Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd. dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. "Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda". Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya dirumah apa bila ia merasa kesepian.Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ''memahami'' orangtuanya.

Dengan Bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Dewi pada saya , Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya," Bunda aku ingin mandi sama bunda...please...please bunda", pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.

Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. "Bunda, mandikan aku !" Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja...?" kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.

Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, "Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di Ruang Emergency".

Dewi, ketika diberi tahu soal Bayu, sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang... terlambat sudah...Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya.. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.

Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata "Ini Bunda Nak...., Hari ini Bunda mandikan Bayu ya...sayang....! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak.." . Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil. Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, "Inikan sudah takdir, ya kan..!" Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?". Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.

Sementara di sebelah kanannya, Suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.

Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, "Inilah konsekuensi sebuah pilihan!" lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa di duga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. "Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak...? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Sepanjang persahabatan kami, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris "Bangunlah Bayu sayaaangku....Bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak.....?!?" pintanya berulang-ulang, "Bunda mau mandikan kamu sayang.... Tolong Beri kesempatan Bunda sekali saja Nak.... Sekali ini saja, Bayu.. anakku...?" Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.

Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat manusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini...tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting dari pada hanya sekedar memandikan seorang anak.

Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.




01 Desember 2010

Habibie dan Cinta Sejati

Selasa malam 30 November ini, Bacharudin Jusuf Habibie meluncurkan buku "Habibie & Ainun" yang disebut sejumlah kalangan sebagai buku tentang cerita cinta abadi dua anak manusia. Kehidupan penuh cinta pasangan Habibie dan Hasri Ainun memang bisa menjadi bahan ajar menarik untuk keadaan sosial kini yang terlalu dimabuk kabar selingkuh, cerai, sensasi syahwat dan birahi.

Mereka menguak kisah cinta sejati dan kesetiaan yang membangkitkan takjub, selain menjadi cermin kepada siapa keluarga-keluarga berkaca. Kesetiaan tiada koma dari sang ilmuwan cemerlang kepada istrinya itu, telah menegaskan bahwa cinta abadi itu ada. Ketulusan cinta Habibie-Ainun dan keromantisan mereka mungkin seindah kuasa cinta yang membalut perjalanan kasih Roro Mendut dan Pronocitro, Laila dan Majnun, Mumtaz Mahal dan Shah Jehan, Guinevere dan Lancelot, Scarlett O’Hara dan Ashley Wilkes, atau pasangan dalam roman-roman lainnya.

Tentu saja kisah cinta Habibie-Ainun tak setragis kisah dalam roman-roman itu. Freddy Mercury, vokalis band legendaris Queen, hanya bisa bersenandung cinta sejati dalam lagunya, "I was born to love you/With every single beat of my heart// Yes, I was born to take care of you/Every single day of my life// You are the one for me/I am the man for you// You were made for me//"

Habibie juga melantunkan kidung amor seperti Freddy, dengan berkata, "Ainun tercipta untuk saya, dan saya tercipta untuk Ainun." Tapi Habibie lebih dari itu, karena untaian syair indah itu dia terjemahkan dalam laku keseharian kepada sang pasangan hati.

"Cinta mereka tidak pernah berkurang, justru terus bertambah," kata buah hati mereka, Thareq Kemal Habibie, kepada satu televisi nasional beberapa waktu lalu. Mereka melihat satu sama lain secara mendalam, tak hanya dari eloknya paras, indahnya lekuk tubuh atau merdunya suara. Sebaliknya, mereka memaknai wajah mereka sebagai nilai-nilai dari mana keluarga harmonis ditata.

Mereka seolah melanggamkan puisi pujangga besar William Shakespeare, "Di wajahmu Aku lihat kemurnian, kebenaran, dan kesetiaan." Di tengah dunia yang dibalut glamor, seksualitas ekstrem, pemujaan benda, dan pernikahan berimamkan nafsu, dua sejoli itu mempertontonkan cinta sejati yang mempesona nan menggetarkan.
Cinta sejati
Kesetiaan Habibie mengingatkan pada salah satu kisah kasih agung di era modern, antara dua ilmuwan brilian, Pierre Curie dan Marie Sklodowska Curie. Sebagaimana Habibie dan Ainun, Pierre dan Marie dipersatukan oleh cinta. Keduanya tak saling mencari untung, tak pula saling menuntut, apalagi memanipulasi kelebihan, pencapaian dan kedudukan pasangannya. Mereka bersenyawa menjadi ekajiwa dwitubuh karena menganggap satu sama lain sebagai belahan jiwa.

Pesona cinta memang menyentuh kalbu semua orang, dan manakala itu merasuk pada dua anak manusia yang ikhlas berbagi rasa dan dipersatukan oleh ketertarikan sama, maka hidup menjadi lebih berbunga. Itulah yang dirasakan Marie dan Pierre, dan mungkin pula dinikmati Habibie dan Ainun, serta semua pasangan sejiwa lainnya. Adalah kecerdasan dan ketekunan Marie yang membuat Pierre jatuh hati. Setelah beberapa kali gagal dipinang Pierre, perempuan Polandia itu menerima cinta Pierre dan berlanjut ke pernikahan pada 1895. Pernikahan itu kian menyatukan mereka, hingga bermitra demi sains.

Masa-masa sulit berhasil mereka lalui, karena mereka selalu berbagi, saling mengisi dan merasa saling membutuhkan. Sukses akhirnya mereka capai pada 1898 setelah menemukan polonium dan radium. Untuk upayanya itu, mereka, bersama Antoine Henri Becquerel, dianugerahi Nobel Fisika pada 1903.

Hidup Marie berantakan setelah Pierre meninggal dunia pada 1906. Tapi, cintanya yang tak pernah padam pada suami, membuat Marie bangkit menapaki jalan yang diretas belahan jiwanya untuk menjadi profesor fisika dan meraih lagi Nobel kimia pada 1911. Namun, di tengah kesuksesan itu, Marie tetap merindukan Pierre. Marie merasa dia adalah Pierre, dan Pierre adalah dia. Pada 1934 Marie menyusul Pierre ke alam baka karena leukemia.

Seperti Marie, Habibie juga amat kehilangan belahan jiwanya, seolah setengah hatinya terenggut.Habibie mengatakan tak akan melewatkan sehari pun berziarah dalam masa 40 hari setelah wafatnya sang istri. Sungguh satu ungkap kesetiaan mendalam dari seorang pecinta sejati. Habibie seolah mendeklamasikan puisi pujangga besar Persia, Jalaluddin Rumi, "Aku mungkin bisa menutup bumi dengan taburan melati/ Aku dapat saja memenuhi samudera dengan tangisan/ Aku bisa saja mengguncang surgawi dengan pepujian/ Tapi tak satu pun dari semua itu dapat meraihmu."
Ideal
Habibie-Ainun adalah gambaran otentik mengenai wujud doa setiap pasangan nikah untuk hadirnya keluarga harmonis yang dibalut kesetiaan. Habib Ali Almuhdar, guru mengaji Keluarga Besar Habibie, berkata, "Keluarga Habibie adalah keluarga sakinah mawaddah warohmah." Artinya, keluarga itu senantiasa diliputi kasih sayang dan menjalankan perintah Tuhan sehingga selalu dilimpahi rahmat-Nya.

Habibie-Ainun, serta keluarga-keluarga lain seperti mereka, merekatkan ikatan keluarga di atas fondasi saling menyadari dan mengakui perbedaan-perbedaan mereka. Mereka bersatu menjadi dua belahan jiwa yang bersenyawa dalam satu tubuh di mana sang perempuan menutup ketaksempurnaan emosi pria, sebaliknya kesenjangan nalar pada perempuan ditutup sang pria. Jika keadaan itu membawa keutuhan kepada keduanya, maka kebersamaan mereka adalah perkawinan sejati antardua sejiwa sehati.

Mengutip para pakar spiritual, tatkala jiwa-jiwa seperti itu menyatu, pikiran-pikiran tentang seks tak lagi dominan. Sebaliknya, makin dominan persatuan seks, makin hambar sebuah persenyawaan spiritual. Jika persenyawaan spiritual itu kian kuat, maka dua jiwa itu kian rapat menyatu. Inilah level di mana perkawinan sejati antardua belahan jiwa telah tercipta, sebagai mana Tuhan rencanakan untuk setiap manusia.

Mungkin pasangan-pasangan seperti ini adalah kakek nenek dan bapak ibu Anda. Mereka adalah kepada siapa Anda bisa mengambil pelajaran mengenai kesetiaan, keiklasan, cinta, harmoni dan keluarga. Merekalah teladan hidup yang ideal, bukan kabar kawin cerai yang rabun makna, timpang pesan, dan gemar menggugat institusi pernikahan dengan argumentasi amat materialistis, dangkal, dan artifisial. Anda akan sangat beruntung memiliki bahan ajar dari keluarga-keluarga yang dirajut kuat oleh cinta sejati seperti ditenun Habibie dan Ainun.


Selasa, 30 November 2010 20:28 WIB
Oleh Jafar M. Sidik