27 Maret 2012

Penyatuan Zona Waktu; Boros listrik da persulit kegiatan warga

Oleh M Zaid Wahyudi

Pemerintah kembali mewacanakan penyatuan tiga zona waktu Indonesia. Acuan
waktunya adalah waktu Indonesia tengah. Hal ini akan membuat waktu di seluruh
Indonesia sama dengan waktu di pusat-pusat bisnis Asia lain, seperti China,
Hongkong, dan Singapura.

Dalam catatan Kompas, wacana penyatuan zona waktu pernah muncul tahun 2005 dan
2008. Wacana ini selalu muncul menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak.

Hingga kini, alasan pemerintah untuk menggabungkan zona waktu masih sama, demi
efisiensi bisnis dan penghematan energi. Namun, belum pernah dibahas dampak
sosial, budaya, atau kesehatan masyarakat terkait penyatuan itu. Ancaman
inefisiensi dan potensi kerugian ekonomi juga tak dibeberkan.

Dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, Kamis
(15/3), mengatakan, prinsip dasar yang dianut dalam penentuan zona waktu adalah
optimalisasi pemanfaatan sinar matahari. Ini akan membuat masyarakat bebas
beraktivitas di dalam atau di luar ruangan tanpa perlu penerangan tambahan.

Akibat rotasi Bumi, semua wilayah Bumi akan merasakan siang dan malam. Panjang
siang dan malam di setiap daerah berbeda, bergantung pada posisinya di muka Bumi
dan kemiringan sumbu rotasi Bumi.

Agar ada acuan waktu yang sama, Konferensi Internasional Meridian di Washington
DC, Amerika Serikat, Oktober 1884, menetapkan garis meridian yang melintas di
atas Kota Greenwich, Inggris, sebagai meridian nol dan disebut Greenwich mean
time (GMT). Meridian adalah garis khayal di atas wilayah yang menghubungkan
Kutub Utara dan Kutub Selatan.

Bumi dibagi menjadi 24 zona waktu, sesuai waktu satu kali rotasi. Lingkaran Bumi
memiliki sudut 360 derajat. Dengan adanya 24 zona waktu, patokan garis bujur
tolok sebagai penanda zona waktu adalah garis bujur kelipatan 15 derajat. Garis
bujur 15 derajat di sebelah timur Greenwich (15 derajat bujur timur) lebih cepat
satu jam dari waktu di Greenwich. Sebaliknya, garis bujur 15 derajat di barat
Greenwich lebih lambat satu jam.

Garis bujur 180 derajat Bujur Barat dan 180 derajat Bujur Timur bertemu di
Samudra Pasifik yang ditetapkan sebagai batas garis penanggalan internasional.
Wilayah di timur Greenwich memulai waktu lebih dulu dibandingkan di barat.

Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke terentang sejauh 46 derajat bujur,
mulai dari 95 derajat Bujur Timur hingga 141 derajat Bujur Timur.

Jika memakai ketentuan internasional, Indonesia memiliki tiga zona waktu seperti
saat ini. Rinciannya, garis 105 derajat Bujur Timur (GMT plus 7 jam) untuk waktu
Indonesia barat (WIB), garis 120 derajat Bujur Timur (GMT+8) untuk waktu
Indonesia tengah (Wita), dan garis 135 derajat Bujur Timur (GMT+9) untuk waktu
Indonesia timur (WIT).

Adakalanya, karena pertimbangan politik ataupun ekonomi, tidak semua negara
mengacu ketentuan waktu itu. Singapura yang seharusnya memiliki waktu sama
dengan WIB memilih menggunakan waktu sesuai Wita, sama dengan China. Pilihan ini
memberikan keuntungan bagi ekonomi Singapura karena waktu bisnis sama dengan di
China.

Waktu istirahat

Profesor riset astronomi dan astrofisika, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional, Thomas Djamaluddin, mengatakan, aktivitas kerja masyarakat sebaiknya
dimulai saat Matahari terbit, selesai sebelum Matahari terbenam, serta istirahat
ketika Matahari berada di atas kepala. Ini terkait kondisi psikologis dan
biologis manusia.

Penyatuan zona waktu, misalnya disebut waktu Indonesia (WI), akan membuat jam di
wilayah WIB maju satu jam dan di wilayah WIT mundur satu jam. Jika rata-rata jam
kerja pukul 08.00-17.00 WI, penyatuan akan membuat penduduk di WIB seolah-olah
bekerja pukul 07.00- 16.00 WIB saat ini dan yang di WIT seolah-olah bekerja
pukul 09.00-18.00 saat ini (Lihat Tabel I).

Siswa Jakarta yang masuk sekolah pukul 06.30 WIB akan mulai belajar pukul 05.30
WI sebelum Matahari terbit.

Jika waktu istirahat pukul 12.00-13.00 WI, penduduk di WIB akan istirahat
seolah-olah pukul 11.00-12.00 WIB dan yang di WIT istirahat seolah-olah pukul
13.00-14.00 WIT.

Penyatuan zona waktu, kata Moedji, bisa membuat waktu kerja menjadi efektif.
Sebagian besar dari 240 juta penduduk Indonesia akan bergerak bersama, mulai
dari bangun tidur, bekerja, istirahat, selesai bekerja, hingga jam tidur.

Penyatuan bisa membuat bisnis menjadi efektif. Transaksi antarwilayah WIB, Wita,
dan WIT dapat dilakukan serempak.

Namun, dari aspek sosial akan muncul persoalan terkait kewajiban shalat lima
waktu bagi penduduk yang beragama Islam. Waktu shalat tidak akan sinkron dengan
waktu istirahat siang, khususnya di Jawa bagian barat dan Sumatera.

Penyatuan waktu akan membuat jam shalat di WIB mundur. Sebaliknya, jam kerja
maju dibandingkan saat ini. Di WIT, jam shalat akan maju, sedangkan jam kerja
mundur.

Saat ini waktu shalat zuhur di Jakarta pukul 11.36-12.07 WIB. Jika waktu
disatukan, waktu shalat zuhur di Jakarta akan bergeser menjadi pukul 12.36-13.07
WI (Lihat Tabel II).

Jika waktu istirahat ditetapkan pukul 12.00-13.00 WI, saat waktu istirahat habis
di Jakarta, waktu zuhur baru mulai. Karyawan perlu diberi tambahan waktu
istirahat 15-30 menit pada Senin-Kamis dan 30-60 menit pada Jumat.

Hal serupa akan dialami pekerja di Jawa bagian barat dan Sumatera. Jumlah
penduduk di wilayah ini hampir separuh dari total penduduk Indonesia.

”Penambahan waktu istirahat merupakan potensi inefisiensi yang mengganggu
komunikasi bisnis dan dinas,” kata Thomas, yang juga anggota Badan Hisab
Rukyat, Kementerian Agama.

Penambahan waktu istirahat akan membuat waktu kerja antara Indonesia barat dan
timur tidak selaras. Ini jelas tidak sesuai tujuan awal penyatuan zona waktu.

Jika waktu istirahat diundur demi memberi kesempatan ibadah bagi umat Islam di
bagian barat Indonesia, misalnya menjadi pukul 12.30-13.30, akan memberatkan
penduduk di Indonesia timur. Mereka harus menunda waktu makan siang 1-2 jam
dibandingkan saat ini. Pengunduran membuat saat istirahat di Indonesia timur
baru mulai waktu shalat zuhur sudah hampir selesai.

Persoalan lain, jika waktu kerja dimulai pukul 08.00 WI, penduduk di bagian
barat akan berangkat lebih pagi daripada saat ini. Warga komuter Jakarta yang
biasa berangkat pukul 05.00 WIB akan berangkat pukul 04.00 WI. Demikian pula
anak sekolah. Persiapan lebih dini akan membuat konsumsi listrik pada pagi hari
melonjak karena Matahari di Jakarta baru terbit pukul 06.25-07.05 WI. Shalat
subuh yang semula dilakukan di rumah harus dilakukan di jalan karena waktu subuh
pukul 05.12-05.51 WI.

Sebaliknya, kata Moedji, penduduk di Jayapura akan sampai magrib di kantor.
Konsumsi listrik meningkat karena waktu kerja berakhir setelah Matahari
terbenam.

Penduduk di Jawa bagian barat dan Sumatera akan pulang lebih siang. Sepulang
kerja, masyarakat biasanya mencari hiburan, lewat televisi ataupun hiburan di
luar. Hal ini akan meningkatkan konsumsi listrik rumah tangga di wilayah itu
pada pagi dan sore hari.

Dampak pada kesehatan

Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kemal N Siregar,
mengatakan, tubuh manusia memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perubahan
lingkungan. Tubuh cepat merespons perubahan jam biologis akibat perubahan waktu.

Namun, kondisi yang menuntut masyarakat berangkat lebih pagi akan membuat banyak
pekerja dan siswa melewatkan sarapan pagi. Jika di lokasi kerja atau sekolah
mereka kesulitan mendapatkan sarapan, ini justru akan menurunkan produktivitas
kerja, mengganggu kesehatan mental yang memperburuk hubungan antarmanusia, dan
meningkatkan angka kesakitan sehingga biaya kesehatan melonjak.

China memang menjadi negara yang pertumbuhan ekonominya maju dengan memiliki
satu zona waktu. Tidak semua negara maju menerapkan cara itu. Di Amerika
Serikat, Kota New York dan Los Angeles memiliki selisih waktu tiga jam. Kedua
kota sama-sama tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dunia. Dubai di Uni Emirat Arab
yang menerapkan hari kerja Minggu-Kamis, berbeda dengan negara-negara lain yang
menerapkan hari kerja Senin-Jumat, juga mampu berkembang menjadi pusat finansial
global.

Karena itu, untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan penghematan energi,
penyatuan zona waktu bukan hal pokok. Banyak hal yang harus dibenahi untuk
mewujudkan, mulai dari kemudahan investasi, kepastian hukum, penyediaan
infrastruktur, hingga birokrasi yang efisien dan transparan.

Sumber:
Kompas.com