30 Desember 2009

Orkestra Kecelakaan

Dulu orang berkata, alangkah kasihannya anak muda itu. Kuliahnya tak tamat. Kerja luntang-lantung. Hidup pun dia harus berpindah-pindah dari Nebraska, Florida, dan Texas, California, untuk mencari kerja. “Setiap musim panas saya harus mengairi tanaman,” kata Evan Williams. Itu 10 tahun sebelum namanya berkibar sebagai pendiri Blogger.com dan Twitter.com.

Sekarang 55 juta pengguna Twitter dan puluhan juta pengguna Blogger akan berterima kasih kepada anak muda ini. Twitter dan Blogger telah menjadi denyut rutinitas sehari-hari. Siapa sangka dia begitu berpengaruh. Perusahaan-perusahaan hebat, seperti IBM, Dell, dan Jetblue, pun memakai Twitter–peranti pengirim pesan yang berisi 140 karakter. Petenis kondang Serena Williams, musisi John Mayer, sampai sutradara Joko Anwar serta pendeta-pendeta di Amerika banyak yang kecanduan Twitter. Bahkan pemilu di Iran pun bisa ditekan dunia internasional berkat Twitter–peranti yang tak bisa diblok pemerintah Iran.

Siapa sangka temuan ini lahir dari pemuda yang mengaku hidupnya berantakan. Sepuluh tahun hidupnya adalah sepuluh tahun yang sia-sia. Pada 1994, selepas SMA dia hidup bergantung pada kebodohan orang terhadap Internet. Saat Internet mulai tumbuh–apakah Anda sudah kenal Internet saat itu?–Williams memproduksi CD-ROM. Isinya video tentang cara menggunakan Internet. Dia juga menyewakan server untuk web hosting.

Tapi William bukanlah Soicihiro Honda, kapitalis Jepang pintar membuat bisnis mobil Honda. Williams merekrut beberapa temannya dan bermimpi menjadi konglomerat. Tapi ternyata temannya tak pintar mencari uang. Segudang “penyakit” pengusaha amatir melekat padanya. “Saya tak bisa bernegosiasi, kehilangan fokus, dan tak punya disiplin,” kata Williams. Bisnisnya amburadul. Sampai-sampai dia punya utang pajak dan membuat karyawannya marah.

“Hidup saya adalah rangkaian orkestra kecelakaan,” ujar Williams. “Saya selalu mengidap halusinasi optimisme yang akut.” Pernah, dia sampai melek semalam suntuk di perusahaan pertamanya. Tapi esoknya dia kebingungan mencari recehan yang tersisa sekadar untuk sarapan.

Sejarah mulai berpihak kepadanya setelah akhirnya dia bekerja di O’Reilly Media pada 1997. Ia mulai belajar teknik membuat web. Penyakit halusinasi optimistis menghinggapinya lagi. Dia melahirkan Pyra Labs dengan temannya, Meg Hourihan, membuat proyek Blogger, sebuah teknik mudah untuk membuat web. Enam tahun kemudian, situs itu dibeli Google dan dia bekerja selama dua tahun untuk Goliath Internet itu.

Sejak itu hidup William senikmat orkestra. Dia lalu mengajak Jack Dorsey–insinyur di perusahaan barunya, Odeo. Mereka mendirikan Twitter. Dorsey sejak dulu memang terobsesi pada status. Tapi bukan status sosial. Dia terobsesi melahirkan peranti yang memungkinkan orang membaca status komputer. Contohnya, “Habis dimarahi bos”, atau “Rindu pada tom yam gung”.

Twitter tiba-tiba saja menjadi demam baru di Amerika Serikat, menyusul kesuksesan Facebook. Sekarang pengguna Twitter sudah 55 juta orang. Bahkan, saat Barack Obama hendak dilantik pun, dia–atau mungkin orang suruhan dia–sempat menulis status di Twitternya. “Terima kasih telah mempercayakan amanah kepada saya.” Para pakar Internet juga memprediksi, “Twitter adalah koran masa depan, karena status pengguna adalah berita.”

Kini anak luntang-lantung itu telah memetik sukses. Meski belum untung, Twitter telah meraup US$ 55 juta atau Rp 0,5 triliun dari investor. “Ibu saya sekarang tak khawatir lagi, terutama sejak saya menikah 1,5 tahun lalu.”

evan williams, Twitter
10 Dec 2009 burhan Digital
http://blog.tempointeraktif.com/digital/orkestra-kecelakaan/#more-911