30 Desember 2009

Orkestra Kecelakaan

Dulu orang berkata, alangkah kasihannya anak muda itu. Kuliahnya tak tamat. Kerja luntang-lantung. Hidup pun dia harus berpindah-pindah dari Nebraska, Florida, dan Texas, California, untuk mencari kerja. “Setiap musim panas saya harus mengairi tanaman,” kata Evan Williams. Itu 10 tahun sebelum namanya berkibar sebagai pendiri Blogger.com dan Twitter.com.

Sekarang 55 juta pengguna Twitter dan puluhan juta pengguna Blogger akan berterima kasih kepada anak muda ini. Twitter dan Blogger telah menjadi denyut rutinitas sehari-hari. Siapa sangka dia begitu berpengaruh. Perusahaan-perusahaan hebat, seperti IBM, Dell, dan Jetblue, pun memakai Twitter–peranti pengirim pesan yang berisi 140 karakter. Petenis kondang Serena Williams, musisi John Mayer, sampai sutradara Joko Anwar serta pendeta-pendeta di Amerika banyak yang kecanduan Twitter. Bahkan pemilu di Iran pun bisa ditekan dunia internasional berkat Twitter–peranti yang tak bisa diblok pemerintah Iran.

Siapa sangka temuan ini lahir dari pemuda yang mengaku hidupnya berantakan. Sepuluh tahun hidupnya adalah sepuluh tahun yang sia-sia. Pada 1994, selepas SMA dia hidup bergantung pada kebodohan orang terhadap Internet. Saat Internet mulai tumbuh–apakah Anda sudah kenal Internet saat itu?–Williams memproduksi CD-ROM. Isinya video tentang cara menggunakan Internet. Dia juga menyewakan server untuk web hosting.

Tapi William bukanlah Soicihiro Honda, kapitalis Jepang pintar membuat bisnis mobil Honda. Williams merekrut beberapa temannya dan bermimpi menjadi konglomerat. Tapi ternyata temannya tak pintar mencari uang. Segudang “penyakit” pengusaha amatir melekat padanya. “Saya tak bisa bernegosiasi, kehilangan fokus, dan tak punya disiplin,” kata Williams. Bisnisnya amburadul. Sampai-sampai dia punya utang pajak dan membuat karyawannya marah.

“Hidup saya adalah rangkaian orkestra kecelakaan,” ujar Williams. “Saya selalu mengidap halusinasi optimisme yang akut.” Pernah, dia sampai melek semalam suntuk di perusahaan pertamanya. Tapi esoknya dia kebingungan mencari recehan yang tersisa sekadar untuk sarapan.

Sejarah mulai berpihak kepadanya setelah akhirnya dia bekerja di O’Reilly Media pada 1997. Ia mulai belajar teknik membuat web. Penyakit halusinasi optimistis menghinggapinya lagi. Dia melahirkan Pyra Labs dengan temannya, Meg Hourihan, membuat proyek Blogger, sebuah teknik mudah untuk membuat web. Enam tahun kemudian, situs itu dibeli Google dan dia bekerja selama dua tahun untuk Goliath Internet itu.

Sejak itu hidup William senikmat orkestra. Dia lalu mengajak Jack Dorsey–insinyur di perusahaan barunya, Odeo. Mereka mendirikan Twitter. Dorsey sejak dulu memang terobsesi pada status. Tapi bukan status sosial. Dia terobsesi melahirkan peranti yang memungkinkan orang membaca status komputer. Contohnya, “Habis dimarahi bos”, atau “Rindu pada tom yam gung”.

Twitter tiba-tiba saja menjadi demam baru di Amerika Serikat, menyusul kesuksesan Facebook. Sekarang pengguna Twitter sudah 55 juta orang. Bahkan, saat Barack Obama hendak dilantik pun, dia–atau mungkin orang suruhan dia–sempat menulis status di Twitternya. “Terima kasih telah mempercayakan amanah kepada saya.” Para pakar Internet juga memprediksi, “Twitter adalah koran masa depan, karena status pengguna adalah berita.”

Kini anak luntang-lantung itu telah memetik sukses. Meski belum untung, Twitter telah meraup US$ 55 juta atau Rp 0,5 triliun dari investor. “Ibu saya sekarang tak khawatir lagi, terutama sejak saya menikah 1,5 tahun lalu.”

evan williams, Twitter
10 Dec 2009 burhan Digital
http://blog.tempointeraktif.com/digital/orkestra-kecelakaan/#more-911

18 Desember 2009

Hijrahkan Kami Ya Gusti

Suatu malam sekitar tahun 622 Masehi. Sekelompok pemuda mengepung sebuah rumah. Golok terhunus berada di genggaman masing-masing. Tekad mereka bulat. Mereka akan menghabisi lelaki berusia lebih setengah abad itu. Tidak ada negosiasi. Tidak ada kompromi. "Dosa" lelaki itu sudah sangat jelas: yakni membongkar kemapanan kehidupan setempat.

Lelaki itu menggelindingkan perubahan. Ia mengingatkan masyarakatnya untuk tidak mengagungkan yang tidak layak diagungkan. Ia mengajak untuk hanya mengagungkan satu-satunya yang layak diagungkan. Lelaki itu menggulirkan transformasi sosial yang mengguncang kemapanan masyarakatnya. Karena itu, ia dipandang pantas untuk mati.

Mereka boleh berencana. Yang di Atas yang Maha Perencana. Sang lelaki itu berhasil menyelinap dari rumahnya. Dua hari ia berlindung di celah batu sebuah bukit, sebelum kemudian tersaruk mengendarai unta melintasi gurun menuju kehidupan baru. Dalam perjalanan itu, kematian terus membayang-bayanginya. Masyarakatnya, juga alam gurun, selalu siap mengeksekusinya. Tapi, ia sangat yakin langkahnya benar. Lelaki itu terus melangkah. Ia telah membayar mahal sikapnya dengan mengorbankan kemapanannya. Ia tidak mau berhenti hingga menginjak tanah baru tempat keyakinannya dapat disemaikan.

Di rumah anak yatim, di tanah baru, unta pembawa lelaki itu berhenti. Di rumah itulah ia kemudian tinggal. Di situlah ia tunjukkan perangainya yang luar biasa. Ia menyantuni para yatim dan kaum miskin. Ia ajak para sahabatnya untuk menengok para janda tanpa keluarga. Ia selalu berbicara santun pada istri. Ia maafkan para musuh yang telah menginginkan kematiannya. Ia ingatkan bahwa semua manusia adalah sama. Tidak ada yang berbeda. Satu-satunya perbedaan hanyalah di hadapan Sang Pencipta, yakni perbedaan dalam takwa. Ia ajak manusia menjadi manusia sempurna: manusia tak tidak terjajah oleh apa pun lantaran hanya mengagungkan Sang Gusti. Dengan itulah lelaki tersebut membawa dunia pada peradaban baru.

Siapa pun yang sungguh mencermati perjalanan lelaki itu akan mengakui betapa dahsyat langkah yang telah ditempuhnya. Yang dilakukannya selalu langkah sederhana. Namun, langkah-langkah sederhana itulah yang mengubah peradaban dunia. Langkah-langkah sederhana itulah yang membalik "hari gelap" menjadi "hari benderang". Momentum pembalikan itu adalah hari-hari saat ia lolos dari kepungan para penjagal untuk menaklukkan keganasan gurun. Momentum itulah 'Hijrah' yang oleh Umar --sahabat lelaki itu-- dipilih sebagai titik nol penanggalan umat.

Sejak itu, dari tahun ke tahun, kita selalu dilewatkan pada momentum penting Hijriyah. Dari tahun ke tahun kita bertemu dengan Tahun Baru Hijriyah. Persoalannya: apakah kita memanfaatkan momentum itu buat menghijrahkan diri dari gelap kemapanan menuju kehidupan yang lebih benderang? Ataukah kita hanya akan melewatinya sebagaimana melewati hari-hari lainnya.

Gelap tak pernah lelah membayangi kita. Gelap selalu menawarkan 'kenyamanan' untuk mapan di dalamnya. Itulah comfort-zone yang akan terus menjebak kita. Gelap membuat kita lebih suka menyalahkan lingkungan dan menolak berhijrah buat menyikapi keadaan kita sendiri. Kita acap merasa diri paling sengsara, sedangkan tubuh kita belum pernah berbekas daun kurma yang menjadi alas tidur, perut kita belum pernah harus diganjal batu untuk menahan lapar seperti lelaki itu. Kita gampang marah saat direndahkan orang lain, padahal kita tak pernah ditimpuki cemooh, batu, maupun kotoran binatang seperti lelaki itu.

Mungkin kita malah bersenang-senang dalam gelimang kekayaan hasil korupsi, sedangkan lelaki dari keluarga terhormat dan sempat kaya raya itu harus menikmati rumput-rumput kering akibat pemboikotan ekonomi selama tiga tahun lantaran keyakinannya. Toh, pada akhirnya sang lelaki itulah yang menjadi sang pemenang. Lelaki itulah yang menjadi manusia yang paling mulia. Lelaki itulah Rasulullah SAW.

Di hari baru, tidakkah berniat untuk mengisik comfort-zone kemapanan sendiri buat menjalani hari-hari yang lebih menantang seperti telah dilakoni Sang Nabi. Tidakkah kita berkata: "Hijrahkan kami ya Gusti, sebagaimana Kau telah menghijrahkan manusia terkasih-Mu itu agar kami meraih kehidupan diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa yang terang benderang."

Oleh : Zaim Uchrowi
<"http://www.republika.co.id/">

30 November 2009

Bergabung dengan Ledakan BlackBerry

Tan Malaka, tokoh perjuangan yang begitu dipuja sebagian orang Indonesia, boleh saja mengatakan, “Imajinasi adalah takhayul yang meremehkan rasionalitas.” Tapi itu akan menjadi bahan tertawaan para inovator sejati. “Bukti kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, melainkan imajinasi,” begitu kata Albert Einstein.

Imajinasi, ya siapa yang bisa mengalahkannya. Sejumlah penemu hebat masa kini telah membuktikannya. Ketika pasar telepon seluler pintar atawa smartphone didominasi oleh Nokia dan sejumlah PDA berbasis Windows Mobile, imajinasi para teknokrat muda menggetarkan dunia. Steve Jobs datang dengan iPhone. Jim Balsillie dan Mike Lazaridis melahirkan BlackBerry. Dan, yang terbaru, para developer Google merilis Android.

Pasar ponsel pintar kemudian pecah berkeping-keping. Sebagian pasar itu direbut Balsillie dan Lazaridis. Sejak awal 1990, imajinasi kedua orang itu membubung ke langit. “Kami tahu surat elektronik akan menjadi fondasi bisnis, menggantikan faks.” Imajinasi mereka adalah membaca surat elektronik (surel) di ponsel di mana saja. Itulah yang membuat mereka kini bisa merebut separuh kue pasar ponsel pintar yang dikuasai Nokia.

Orang-orang di belahan Amerika Serikat dan Kanada sampai-sampai punya anggapan, bisnis hari gini tak mungkin bisa jalan tanpa BlackBerry.

Imajinasi pula yang membuat iPhone melejit. Saat sejumlah ponsel cuma sibuk dengan urusan mempercantik desain, Steve Jobs punya imajinasi lain: membubuhkan pengalaman luar biasa pada sentuhan jari. Mereka menginvestasikan jutaan dolar Amerika untuk melahirkan ponsel yang kaya grafis, intuitif, dan bisa bekerja dengan satu atau dua sentuhan jari.

Hasilnya? Meski pendatang baru, iPhone tiba-tiba menjadi “demam” di mana-mana. Orang rela antre semalam suntuk saat peluncuran iPhone baru. Penjualan iPhone pun meroket. Pasar mereka mencapai separuh penjualan BlackBerry atau seperempat ponsel pintar Nokia.

“Inovasi. Itulah yang membedakan antara pemimpin dan pengikut,” begitu kata Jobs.

Meski sudah ada tiga inovasi penting, dunia rupanya tak pernah sesak oleh inovasi. Selalu saja ada ruang bagi inovasi baru. Lahirlah Android. Ini sistem operasi di ponsel yang dikembangkan secara keroyokan oleh banyak developer di dunia. Motornya adalah para programmer Google. Siapa saja boleh menambahkan inovasi di sistem ini, juga boleh memakainya secara gratis. Ini namanya open source.

Sebanyak 18 vendor ponsel dunia mendukung sistem ini. Contohnya Motorola, Samsung, dan LG. Mereka kini penantang serius kemapanan yang dibangun Nokia, BlackBerry, dan iPhone. Lahirnya ponsel Cliq bikinan Motorola adalah buktinya. Mereka memiliki kekayaan fitur layar sentuh seperti iPhone, tapi juga papan ketik QWERTY seperti BlackBerry.

Software baru Android ini terus dikembangkan oleh Google dan programmer lainnya di seantero dunia. Versi terbarunya yang dijuluki Donut diperkirakan akan mengguncang pasar ponsel pintar.

Pasar ponsel pintar telah meledak: terjual 155 juta pada 2008 dan diharapkan akan meningkat dua kali lipat pada 2012.

Apakah programmer–dan pengusaha–Indonesia hanya akan menjadi penonton “ledakan” ini? Mengapa tidak bergabung dengan pusaran ledakan, misalnya bergabung dengan Android? Masak Indonesia cuma jadi pedagang dan pasang merek seperti FunBerry dan LuveBerry?

Oct 24,2009 burhan Portal
blog.tempointeraktif.com

Twitter yang ‘Gendeng’

Siapa yang berani menyalahkan Evan Williams. Para konglomerat yang telah menggelontorkan ratusan dolar pun tak sanggup menyalahkan Williams.

Ia masih belia. Usianya baru 37 tahun. Sejarah Internet sudah dua kali menulis namanya dengan tinta emas. Dialah penemu istilah “blogger” sekaligus pencipta situs Blogger.com–yang akhirnya dibeli Google. Dia pula peletak fondasi situs mikroblog, yang cuma mengandalkan komunikasi dengan 140 huruf, yakni Twitter.

Sudah tiga tahun, sejak Williams dan Biz Stone mendirikan Twitter pada 2006, Twitter belum mencetak uang. Tapi itu tak membuatnya panik setitik pun.

“Ini menggelikan,” kata William dengan tawa renyah. “Semua orang bertanya, bisnis macam apa ini.” Tiga tahun bekerja, tiga tahun menyedot perhatian puluhan juta pengguna, tapi mereka tak menghasilkan uang. Kalau orang Betawi melihat bisnis dua lelaki yang tak lulus kuliah itu pasti geleng-geleng dan berkata. “Bahkan jualan kambing bandot pun lebih jelas model bisnisnya.”

Tapi Twitter jelas bukan bisnis ala pedagang kambing akikah. Hari ini memborong kambing, besok atau lusa melegonya. “Mencetak uang bukanlah prioritas tertinggi jika Anda membangun bisnis dengan nilai yang bisa bertahan dalam jangka panjang,” kata William.

Selama tiga tahun berdiri ini, Twitter lebih terlihat sebagai sensasi kultural ketimbang sebuah bisnis. Twitter telah meraih 55 juta pelanggan–lima negara terbanyak penggunanya adalah Amerika Serikat, Inggris, Brasil, Spanyol, dan Indonesia (sungguh mengejutkan!). Mereka berkomunikasi dari urusan remeh-temeh, seperti @sherinamunaf (ini nama akun di Twitter) yang asyik meledek pacarnya @radityadika, sampai urusan gempa di Padang, protes di Iran, dan bantuan untuk banjir di Filipina. Williams dan Stone tak terlihat terburu-buru menyulap situs itu menjadi mesin uang.

Mungkin Williams dan Stone mengikuti jejak Google. Goliath Internet itu selama bertahun-tahun tak jelas model bisnisnya. Memasang iklan baris–betapa kunonya sebenarnya dibandingkan dengan iklan banner ala Yahoo!–selama bertahun-tahun tanpa tujuan yang jelas. Google juga membeli situs blog, Blogger, milik Williams walau tak ada pengiklan yang mau pasang. Sebelum mereka untung, Google akhirnya meraih kucuran modal ventura sebesar US$ 25 juta (sekitar Rp 235 miliar) pada 1999.

Prestasi Twitter lebih baik daripada Google pada 1999. Saat ini mereka telah mendapat gerojokan modal US$ 100 juta (Rp 940 miliar). Para pemodal itu ternyata juga tak kalah “gendeng”. Mereka tak meminta Twitter segera untung. “Saya lebih tertarik memikirkan bagaimana kami meraih 100 juta atau lebih pelanggan ketimbang berpikir cara mendapatkan uang,” kata Fred Wilson, pemilik Union Square Ventura, sekaligus pendukung pertama Twitter. Wow, betapa nikmatnya.

Mengapa di Indonesia tak banyak orang “gendeng” yang berani membiayai inventor-inventor belia seperti di Negeri Abang Sam sono, ya? Seandainya di Indonesia ada orang seperti Fred Wilson ataupun pemodal-pemodal yang membiayai Bill Gates atau Steve Jobs, Indonesia tak akan cuma jadi “target pasar” inovasi seperti Microsoft, Facebook, dan Twitter. Situs koprol.com mungkin bisa seterkenal Twitter. Pesta Blogger 2009 akan penuh anak-anak muda dengan otak brilian.


Oct242009 | burhan | Digital
evan williams, Twitter
blog.tempointeraktif.com

28 November 2009

Kambing

Seorang teman pernah bercerita kepada saya tentang cara orang tuanya mendidiknya menyambut Idul Adha. Seperti halnya anak-anak masyarakat adat Lampung yang cukup berada, teman saya itu diamanatkan orang tuanya untuk memelihara calon kambing korban itu sebagai miliknya sendiri. Hangatnya kebanggaan yang polos dari seorang anak yang tiba-tiba menemukan diri sudah dianggap cukup besar untuk "memiliki" makhluk hidup, telah lebih dari cukup untuk mengawali sebuah cerita perawatan yang indah. Kambing itu gampang gemuk karena ia dipelihara dengan tekun tidak sebagai anggota gerombolan, tetapi sebagai unikum, dengan ketulusan putih natural dari seorang anak.

Menariknya, pendidikan paling penting justru terletak pada hari raya, ketika hubungan perawatan yang indah antara si anak dan si kambing harus berakhir dengan membuncahnya darah si kambing di ujung pedang. Padahal, kambing itu sudah menjadi yang tersayang, begitu dikenal, nyaris seperti diri anak perawat itu sendiri. Pernah, ketika seekor kambing terkulai mati, sang anak perawat kepala bertanduk itu sampai hampir ikut roboh. Itu pedang seperti menyembelih leher anak itu sendiri.

Sebagian orang tentu menganggap bahwa pendidikan ini agak keterlaluan. Tega sekali membesarkan kambing hanya untuk disembelih, lalu untuk membesarkannya, menugaskan seorang anak kecil pula. Kalaupun peri kehewanan tidak layak menjadi diskursus hati, bagaimana jika si kambing yang sudah kepalang gemuk dan begitu merasa nyaman di samping tuannya itu berontak ketika akan disembelih? Ini hanya menambah jeri hati si anak.

Pendidikan macam begitu? Lupakan saja. Atau, dari awal saja si anak perawat disuruh memberi si kambing hanya sisa rumput kering, mengurungnya di tempat gelap, dan meniadakan haknya untuk disayang, karena akhirnya, bukankah itu kambing akan disembelih juga. Biar kurus kering putus asa dia dan mudah saja dibelit tangan kakinya untuk dibanting ke tanah dan dibuat tak berkutik dalam hitungan detik. Dengan begitu, tidak ada rasa sakit dalam hati si anak, karena kambing itu tidak menjadi amanat. Dan kambing itu? Tak usah peduli, ia bukan manusia.

Dua alternatif terakhir ini logis juga. Tetapi, si anak akan kehilangan wahana berlatih menerima perpasangan kepemilikan dan kehilangan sebagai tempat kematangan hati berkembang. Ini baru kambing, bagaimana jika yang harus mati adalah sesuatu yang paling disayang, seperti orang tercinta, atau bahkan diri sendiri?

Yang pasti, jika gemuruh takbir menyapa beranda hati, satu malam saja, dan hangat gulai kambing menghangatkan persendian, satu hari saja, dengan sejuk dahi menyapa sajadah, beberapa detik saja, bersyukurlah atas pengingatan Allah yang masih demikian indah.

Bayangkanlah jika Idul Adha adalah malam lembur di depan komputer 24 jam, pagi berlari menyerahkan pekerjaan, dan fajar adalah kebingungan mencari gelaran shalat berjamaah di tengah masyarakat yang penganut Islamnya memang hanya satu-dua orang. Lalu, hangat pagi pun bukan hangat gulai ketupat dan pelukan, tetapi hanya semangkuk mi plastik tanpa handai taulan. Di negara-negara Barat, hal ini ada kenyataannya, mungkin bahkan tidak satu-dua.

Tetapi, Allah adalah Yang Maha Pengasih dan bukan yang suka pilih kasih. Dalam situasi itu, ada kambing yang dapat tetap disembelih, dibagikan, dan dihikmati dengan kesyukuran. Kambing itu adalah ego sendiri, yang selalu lebih percaya pada kenikmatan dalam bayangan daripada kenikmatan yang tersembunyi di sekitar kenyataannya, sepedih apa pun kenyataan itu, tampaknya.

Miranda Risang Ayu

26 November 2009

Ibadah Qurban

Qurban dalam istilah fikih adalah Udhiyyah yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata Qurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah.

Mempersembahkan persembahan kepada tuhan-tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejak lama. Dalam kisah Habil dan Qabil yang disitir al-Qur'an disebutkan:

Qurtubi meriwayatkan bahwa saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu cantik. Dalam ajaran nabi Adam dianjurkan mengawinkan saudara kandung perempuan mendapatkan saudara laki-laki dari lain ibu. Maka timbul rasa dengki di hati Qabil terhadap Habil, sehingga ia menolak untuk melakukan pernikahan itu dan berharap bisa menikahi saudari kembarnya yang cantik. Lalu mereka sepakat untuk mempersembahkan qurban kepada Allah, siapa yang diterima qurbannya itulah yang akan diambil pendapatnya dan dialah yang benar di sisi Allah. Qabil mempersembahkan seikat buah-buahan dan habil mempersembahkan seekor domba, lalu Allah menerima qurban Habil.

Qurban ini terus dikenal oleh umat Yahudi untuk membuktikan kebenaran seorang nabi yang diutus kepada mereka, sehingga tradisi itu dihapuskan melalui perkataan nabi Isa bin Maryam.

Tradisi keagamaan dalam sejarah peradaban manusia yang beragam juga mengenal persembahan kepada Tuhan ini, baik berupa sembelihan hewan hingga manusia. Mungkin kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya adalah salah satu dari tradisi tersebut. Dalam al-Qur'an dikisahkan:

37. 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

37. 103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

37. 104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,

37. 105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu[*] sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. [*] Yang dimaksud dengan "membenarkan mimpi" ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksanakannya.

37. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

37. 107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[*]. [*] Sesudah nyata kesabaran dan keta'atan Ibrahim dan Ismail a.s. maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari Raya Haji.

Persembahan suci dengan menyembelih manusia juga dikenal peradaban Arab sebelum Islam. Disebutkan dalam sejarah bahwa Abdul Mutalib, kakek Rasululluah, pernah bernadzar kalau diberi karunia 10 anak laki-laki maka akan menyembelih satu sebagai qurban. Lalu jatuhlah undian kepada Abdullah, ayah Rasulullah. Mendengar itu kaum Quraish melarangnya agar tidak diikuti generasi setelah mereka, akhirnya Abdul Mutalib sepakat untuk menebusnya dengan 100 ekor onta. Karena kisah ini pernah suatu hari seorang badui memanggil Rasulullah "Hai anak dua orang sembelihan" beliau hanya tersenyum, dua orang sembelihan itu adalah Ismail dan Abdullah bin Abdul Mutalib.

Begitu juga persembahan manusia ini dikenal oleh tradisi agama pada masa Mesir kuno, India, Cina, Irak dan lainnya. Kaum Yahudi juga mengenal qurban manusia hingga Masa Perpecahan. Kemudian lama-kelamaan qurban manusia diganti dengan qurban hewan atau barang berharga lainnya. Dalam sejarah Yahudi, mereka mengganti qurban dari menusia menjadi sebagian anggota tubuh manusia, yaitu dengan hitan. Kitab injil penuh dengan cerita qurban. Penyaliban Isa menurut umat Nasrani merupakan salah satu qurban teragung. Umat Katolik juga mengenal qurban hingga sekarang berupa kepingan tepung suci.

Pada masa jahilyah Arab, kaum Arab mempersembahkan lembu dan onta ke Ka'bah sebagai qurban untuk Tuhan mereka. Ketika Islam turun diluruskanlah tradisi tersebut dengan ayat Allah:

5. 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah [389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram [390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya [391], dan binatang-binatang qalaa-id [392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya [393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.

Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya. Dalam hadist riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai "untuk apa sembelihan ini?" belian menjawab: "Ini sunnah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim a.s." lalu sahabat bertanya:"Apa manfaatnya bagi kami?" belau menjawab:"Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan" sahabat bertanya: "Apakah kulitnya?" beliau menjawab: "Setiap rambut dari kulit itu menjadi kebaikan".

Qurban juga ditujukan untuk memberi makan jamaah haji dan penduduk Makkah yang menunaikan ibadah haji. Dalam surah al-Hajj ditegaskan"

22. 34. Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).

Begitu juga dijelaskan:

22. 27. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus [*] yang datang dari segenap penjuru yang jauh, [*]. "Unta yang kurus" menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.

22. 28. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. "Hari yang ditentukan" ialah hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.



Dalil-dalil qurban:
1. Firman Allah dalam surah al-Kauthar: "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah". Ayat ini boleh dijadikan dalil disunnahkannya qurban dengan asumsi bahwa ayat tersebut madaniyyah, karena ibadah qurban mulai diberlakukan setelah beliau hijrah ke Madinah.
2. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik r.a.:"Rasulullah berqurban dengan dua ekor domba gemuk bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau dengan membaca bismillah dan takbir, beliau menginjakkan kakinya di paha domba".


Hukum Qurban
1. Mayoritas ulama terdiri antar lain: Abu Bakar siddiq, Uamr bin Khattab, Bilal, Abu Masud, Said bin Musayyab, Alqamah, Malik, Syafii Ahmad, Abu Yusuf dll. Mengatakan Qurban hukumnya sunnah, barangsiapa melaksanakannya mendapatkan pahala dan barang siapa tidak melakukannya tidak dosa dan tidak harus qadla, meskipun ia mampu dan kaya.

Qurban hukumnya sunnah kifayah kepada keluarga yang beranggotakan lebih satu orang, apabila salah satu dari mereka telah melakukannya maka itu telah mencukupi. Qurban menjadi sunnah ain kepada keluarga yang hanya berjumlah satu orang. Mereka yang disunnah berqurban adalah yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan sehari-harinya yang kebutuhan makanan dan pakaian.

2. Riwayat dari ulama Malikiyah mengatakan qurban hukumnya wajib bagi mereka yang mampu.


Adakah nisab qurban?
Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran seseorang disunnahkan melakukan qurban.
Imam Hanafi mengatakan barang siapa mempunyai kelebihan 200 dirham atau memiliki harta senilai itu, dari kebutuhan tinggal, pakaian dan kebutuhan dasarnya.
Imam Ahmad berkata: ukuran mampu quran adalah apabila dia bisa membelinya dengan uangnya sendiri walaupun uang tersebut didapatkannya dari hutang yang ia mampu membayarnya.

Imam Malik mengatakan bahwa ukuran seseorang mampu qurban adalah apabila ia mempunyai kelebihan seharga hewan qurban dan tidak memerlukan uang tersebut untuk kebutuhannya yang mendasar selama setahun. Apabila tahun itu ia membutuhkan uang tersebut maka ia tidak disunnahkan berqurban.

Imam Syafii mengatakan: ukuran mampu adalah apabila seseorang mempunyai kelebihan uang dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, senilai hewan qurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyriq.


Keutamaan qurban
1. Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda:"Amal yang paling disukai Allah pada hari penyembelihan adalah mengalirkan darah hewan qurban, sesungguhnya hewan yang diqurbankan akan datang (dengan kebaikan untuk yang melakukan qurban) di hari kiamat kelak dengan tanduk-tanduknya, bulu dan tulang-tulangnya, sesunguhnya (pahala) dari darah hewan qurban telah datang dari Allah sebelum jatuh ke bumi, maka lakukanlah kebaikan ini". (H.R. Tirmidzi).

2. Hadist Ibnu Abbas Rasulullah bersabda:"Tiada sedekah uang yang lebuh mulia dari yang dibelanjakan untuk qurban di hari raya Adha" (H.R. Dar Qutni).

Waktu penyembelihan Qurban
Dari Jundub r.a. :Rasulullah melaksanakan sholat (idul Adha) di hari penyembelihan, lalu beliau menyembelih, kemudian beliau bersabda:"Barangsiapa menyembelih sebelum sholat maka hendaknya ia mengulangi penyembelihan sebagai ganti, barangsiapa yang belum menyembelih maka hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah". (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dari Barra' bin 'Azib, bahwa paman beliau bernama Abu Bardah menyembelih qurban sebelum sholat, lalu sampailah ihwal tersebut kepada Rasulullah s.a.w. lalu beliau bersabda:"Barangsiapa menyembelih sebelum sholat maka ia telah menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang siapa menyembelih setelah sholat maka sempurnalah ibadahnya dan sesuai dengan sunnah (tradisi) kaum muslimin"(H.R. Bukhari dan Muslim).


Hadist Barra' bin 'Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda:"Pekerjaan yang kita mulai lakukan di hari ini (Idul Adha) adalah sholat lalu kita pulang dan menyembelih, barangsiapa melakukannya maka telah sesuai dengan ajaran kami, dan barangsiapa memulai dengan menyembelih maka sesungguhnya itu adalah daging yang ia persembahkan untuk keluarganya dan tidak ada kaitannya dengan ibadah"( H.R. Muslim).

Imam Nawawi menegaskan dalam syarah sahih Muslim bahwa waktu penyembelihan sebaiknya setelah sholat bersama imam, dan telah terjadi konsensus (ijma') ulama dalam masalah ini. Ibnu Mundzir juga menyatakan bahwa semua ulama sepakat mengatakan tidak boleh menyembelih sebelum matahari terbit. Adapun setelah matahari terbit, Imam Syafi'i dll menyatakan bahwa sah menyembelih setelah matahari terbit dan setelah tenggang waktu kira-kira cukup untuk melakukan sholat dua rakaat dan khutbah. Apabila ia menyembelih pada waktu tersebut maka telah sah meskipun ia sholat ied atau tidak.


Imam Hanafi mengatakan: waktu penyembelihan untuk penduduk pedalaman yang jauh dari perkampungan yang ada masjid adalah terbitnya fajar, sedangkan untuk penduduk kota dan perkampungan yang ada masjid adalah setelah sholat iedul adha dan khutbah ied.
Imam Malik berkata: waktu penyembelihan adalah setelah sholat ied dan khutbah. Imam Ahmad berkata: waktunya adalah setelah sholat ied.

Demikian, waktu penyembelihan berlanjut hingga akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Tidak ada dalil yang jelas mengenai batas akhir waktu penyembelihan dan semua didasarkan pada ijtihad, yaitu didasarkan pada logika bahwa pada hari-hari itu diharamkan berpuasa maka selayaknya itu menjadi waktu-waktu yang sah untuk menyembelih qurban.


Menyembelih di malam hari
Menyembelih hewan qurban di malam hari hukumnya makruh sesuai pendapat Imam Syafii. Bahkan menurut imam Malik dan Ahmad: menyembelih pada malam hari hukumnya tidak sah dan menjadi sembelihan biasa, bukan qurban.


Hewan yang disembelih
Imam Nawawi dalam syarah sahih Muslim menegaskan telah terjadi ijma' ulama bahwa tidak sah melakukan qurban selain dengan onta, sapi dan kambing. Riwayat dari Ibnu Mundzir Hasan bin Sholeh mengatakan sah berqurban dengan banteng untuk tujuh orang dan dengan kijang untuk satu orang.

Adapun riwayat dari Bilal yang mengatakan: "Aku tidak peduli meskipun berqurban dengan seekor ayam, dan aku lebih suka memberikannya kepada yatim yang menderita daripada berqurban dengannya", maksudnya bahwa beliau melihat bahwa bersedekah dengan nilai qurban lebih baik dari berqurban. Ini pendapat Malik dan Tsauri.
Begitu juga riwayat sebagian sahabat yang membeli daging lalu menjadikannya qurban, bukanlah menunjukkan boleh berqurban dengan membeli daging, melainkan itu sebagai contoh dari mereka bahwa qurban bukan wajib melainkan sunnah.


Makan daging qurban
Hukum memakan daging qurban yang dilakukan untuk dirinya sendiri, apabila qurban yang dilakukan adalah nadzar maka haram hukumnya memakan daging tersebut dan ia harus menyedekahkan semuanya. Adapun qurban biasa, maka dagingnya dibagi tiga, sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk dihadiahkan dan sepertiga untuk disedekahkan. Membagi tiga ini hukumnya sunnah dan bukan merupakan kewajiban. Qatadah bin Nu'man meriwayatkan Rasulullah bersabda:"Dulu aku melarang kalian memakan daging qurban selama tiga hari untuk memudahkan orang yang datang dari jauh, tetapi aku telah menghalalkannya untuk kalian, sekarang makanlah, janganlah menjual daging qurban dan hadyu, makanlah, sedekahkanlah dan ambilah manfaat dari kulitnya dan janganlah menjualnya, apabila kalian mengharapkan dagingnya maka makanlah sesuka hatimu"(H.R. Ahmad).

Sebaiknya dalam melakukan qurban, pelakunyalah yang menyembelih dan tidak mewakilkannya kepada orang lain. Apabila ia mewakilkan kepada orang lain maka sebaiknya ia menyaksikan.

Oleh Ustadz Muhammad Niam

10 November 2009

Para Pahlawan yang Diciptakan

Para pahlawan tak pernah dilahirkan tapi diciptakan. Mereka diciptakan mula-mula dan pertama bukan untuk dijadikan role-model agar diteladani atau ditiru, melainkan untuk meneguhkan narasi "perjuangan nasional merebut kemerdekaan". Pendeknya: untuk kepentingan mereproduksi narasi nasionalisme secara kontinyu. Dengan itu, narasi perjuangan nasional yang terjadi pada masa lampau yang jauh bisa terus menerus "dihadirkan" dalam kekinian.

Selanjutnya, barulah para pahlawan yang “diciptakan” untuk kepentingan naratif itu diharapkan jadi role-model yang bisa diteladani dan ditiru.

Tapi, peneladanan dan peniruan itu bukan area yang leluasa untuk diisi secara mana-suka [arbitrer]. Apa yang bisa diteladani dan ditiru hanya aspek-aspek yang berkaitan dengan kepentingan melanggengkan narasi nasionalisme itu tadi; sejenis imajinasi reproduktif [imaginative reproduction, dalam istilah Paul Ricoeur] yang minimalis sifatnya karena hanya mengulang-ulang bayangan masa silam.

Tak penting bagaimana latar belakang seorang pahlawan nasional mengangkat senjata terhadap para penjajah. Menjadi tak penting bagaimana perlawanan Diponegoro --salah satunya-- dipicu oleh sesuatu yang sebetulnya privat: karena Belanda mencabut patok yang menandai tanah milik leluhurnya. Yang pokok dan ditonjolkan adalah fakta bahwa Diponegoro angkat senjata terhadap Belanda!

Itu sebabnya, pribadi seperti Syafruddin Prawiranegara sukar untuk ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Betapa pun besar jasanya saat memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia [PDRI] di Sumatera Barat, fakta bahwa Sjafruddin "terlibat" dengan peristiwa PRRI/Permesta membuatnya masuk dalam daftar nama yang telah merongrong narasi nasionalisme.

Yang penting dari Sjafruddin adalah fakta bahwa ia pernah bergabung dengan PRRI/Permesta. Tak penting lagi motivasi Sjafruddin itu sebenarnya dipicu oleh sesuatu yang bisa jadi prinsipil, seperti membela kepentingan daerah, menentang sentralisme, dll.

Dari sudut itu, jika ada petani dari Kedungombo melakukan perlawanan terhadap militer Orde Baru yang mengambil-alih tanahnya secara semena-mena dengan alasan terinspirasi sikap Diponegoro di masa lalu, sikap itu pastilah tak bisa diterima. Alasan itu sesuatu yang subversif. Dalam sekali hentak petani itu sudah menempatkan dirinya sebagai reproduksi atas Diponegoro, seraya pada saat yang sama menjadikan negara sebagai reproduksi dari sosok pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Kepahlawan, dengan demikian, sebenarnya adalah sebuah bab dari buku babon nasionalisme yang disusun melalui proses pemilahan, penyuntingan dan penambahan pelbagai elemen yang dianggap penting untuk membuat narasi kepahlawanan itu menjadi meyakinkan, memiliki daya pukau yang mencengkau, jika perlu diselubungi cahaya kekeramatan.

Proses pemilahan dan penyuntingannya penuh dengan prosedur birokratis, dimulai dari usulan masyarakat, diperiksa dan diteliti Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD), lantas Gubernur (pemerintah daerah) melanjutkan ke Badan Pembina Pahlawan Nasional yang ada di Departemen Sosial (Depsos), dan terakhir diserahkan pada Presiden yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).

Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006 memuat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Di antaranya: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, berskala nasional serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh sudah meninggal. Sepanjang proses itulah para kandidat pahlawan nasional diperiksa, diteliti, diselidiki: pendeknya dipilih, dipilah, diselidiki "secara klinis" untuk memastikan tidak ada virus, bakteri, cela dan dosa yang terlalu signifikan untuk diabaikan.

Tapi itu saja tak cukup. Begitu seseorang ditetapkan sebagai pahlawan, dilakukanlah penambahan elemen-elemen yang dianggap bisa memperkokoh kekuatan naratifnya. Penambahan elemen itu bisa berupa pemilahan dan penyempurnaan foto atau lukisan si tokoh, mereproduksi serta menyebarkannya melalui banyak medium [terutama buku pelajaran atau biografi ringkas yang disebarkan ke sekolah], hingga ritus-ritus yang diulang pada momen penting dalam kehidupan si tokoh yang relevan untuk ditonjol-unggulkan.

Itu sebabnya, pengangkatan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional di era Soekarno melibatkan Augustin Sibarani yang ditugaskan untuk membuat potret Sisingamangaraja XII yang saat itu memang belum ada potret atau gambarnya. Itu pula yang dilakukan Muhammad Yamin yang "sukses" memperkenalkan gambar wajah Gajah Mada berdasar --begitulah dikabarkan-- satu arca yang ditemukan di Trowulan. Mahapatih Majapahit itu punya peran sentral dalam imajinasi persatuan dan kesatuan Indonesia karena Sumpah Amukti Palapa yang pernah diucapkannya.

Semua itu penting karena tak ada pahlawan yang tak ada gambarnya. Potret wajah pahlawan diperlukan untuk membuat narasi kepahlawanannya menjadi lebih nyata, lebih terasakan, sehingga kekuatan auratiknya bisa disingkap dan diwedarkan sedemikian rupa.

Jika kita cermati gambar wajah para pahlawan nasional, terutama para pahlawan dari era sebelum dikenalnya fotografi, ada ciri yang nyaris menonjol: paras mereka rata-rata tampak meyakinkan, seakan tak mengandung keraguan dan kebimbangan, kadang meluap suasana kebesaran, gabungan antara kewaskitaan dan keningratan, menyembul semacam pamor, kombinasi antara tingginya "rasa" dan luhurnya silsilah.

Dengan potret dan gambar itulah para pahlawan "tampak" hadir dalam kekinian. Kata "tampak" perlu diberi penekanan karena para pahlawan itu memang tak benar-benar hadir, tapi "dihadirkan", itu pun tidak dalam satu intensi yang menyatu dengan kekinian, melainkan berjarak, sekaligus tak tersentuh, dan terkadang wingit alias keramat.

Itu sebabnya salah satu kriteria yang harus dipenuhi bagi para kandidat pahlawan adalah ia harus sudah meninggal dunia. Kematian membuat sosok seorang pahlawan menjadi "tertutup" sekaligus "terbuka".

Kematian membuatnya "tertutup" karena dengan itu kisah hidupnya telah rampung dan sepak terjangnya sudah berakhir. "Ketertutupan" itu kemudian membuatnya terbuka untuk disunting, dikurangi, diisi, atau ditambahi elemen-elemen baru. Versi resmi penyuntingan dan penambahan itulah yang terbaca dari buku-buku putih, buku pelajaran sejarah dan buklet-buklet yang disebarkan ke perpustakaan sekolah dan museum.

Gambar atau potret wajah, ritus peringatan, buku pelajaran, buklet dan biografi-biografi resmi yang dikeluarkan negara membuat kepahlawanan seseorang menjadi bergerak, bergulir dan menebarkan pengaruhnya; semacam "ground" --dalam kosa kata Charles Sanders Peirce-- yang membuat suatu tanda bisa berfungsi dengan pengaruh yang kuat juga kokoh.

Menjadi pahlawan nasional berarti dinaikkan derajatnya, tapi pada saat yang sama sang pahlawan dibingkai sedemikian rupa dengan elemen-elemen yang belum tentu mereka setujui dan inginkan seandainya mereka bisa ditanyai kembali. Bisa dipahami jika di Amerika Latin ada satir begini: "Satu-satunya yang diinginkan para pahlawan yang dipuja adalah mereka tak ingin menjadi pahlawan."

Mungkin hanya dengan cara berpikir macam inilah kita bisa mengerti kenapa Bung Hatta, saat menghadiri pemakaman Soetan Sjahrir di Taman Makan Pahlawan Kalibata, sempat berbisik pada seseorang: "Tak akan saya biarkah orang-orang memperlakukan ini pada saya [dimakamkan di taman makam pahlawan]."

Ya, taman makam pahlawan, yang sebagiannya diisi oleh makam para pahlawan tak dikenal, punya jalinan semiotis yang sedikit berbeda. Pada taman makam pahlawan dan kubur-kubur tanpa nama itu, menguar satu aura kepahlawanan yang berbeda kekhasannya.

Kita tak tahu siapa mereka, tak penting pula di sana benar-benar ada jenazah yang terbukur atau tidak. Kita tak peduli "bilamana dia datang" atau "untuk siapa dia datang", meminjam frase Toto Sudarto Bachtiar dalam sajak terkenalnya, Pahlawan Tak Dikenal. Nisan-nisan tanpa nama itu sendiri sudah lebih dari cukup untuk dilekati pelbagai makna secara lebih mana-suka [arbitrer].

"Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen- makam para tentara tak dikenal. …Makam-makam tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui," tulis Ben Anderson dalam salah satu halaman Imagined Communities.

Khayalan nasional yang menghantui itu bisa bermacam-macam, efeknya juga bisa mengingatkan tapi bisa pula membikin lupa. Pahlawan berikut tugu dan monumennya mula-mula mengingatkan kita pada peran dan jasa orang-orang yang dikuburkan di sana bagi tanah air, juga bagi kita di hari ini. Tapi pada saat yang sama bisa juga membuat kita terpukau dengan kemegahan, keindahan dan kerapihannya -- pendeknya: melalui estetika masa silam.

Keterpukauan atas estetika masa silam itu bisa membuat kita kehilangan daya untuk mengingat dan mengartikulasikan pelbagai hal yang tertanam di bawah fondasinya: kekerasan yang tergelar di baliknya, darah para korban tak bersalah yang tertumpah, dusta-dusta sejarahnya, juga semiotika kekuasaan yang terjalin dengan rapi dan halusnya.

www.politikana.com
writer: kalangwan

20 Oktober 2009

Sholat di Injury Time

Kalo denger terminology di atas, pastilah otak kita langsung mengacu ke pertandingan sepakbola. Soalnya istilah injury time sangat sering dipake dalam olah olahraga itu. Gak usah heranlah kalo istilah ini jadi sangat populer. Hampir setiap hari ada pertandingan bola di Televisi. Baik yang langsung, recorded atau hanya highlight berupa analisa pakar bola terhadap sebuah Liga tertentu. Sehingga istilah injury time sangat sering disebut dan dijejalkan pada kita secara terus menerus, terutama orang-orang yang gila bola.

Injury time dalam sepakbola mempunyai makna detik-detik akhir dari pertandingan. Entah kenapa sangat sering kejadian, sebuah goal tercetak justru di detik-detik akhir tersebut. Dan yang menyakitkan, goal tersebut terjadi di menit 92, menit 93 bahkan di menit 96. Padahal pertandingan sepakbola resminya kan cuma 90 menit. Kelebihan waktu itu diberikan oleh wasit karena adanya pelanggaran atau kejadian-kejadian yang memaksa pertandingan berhenti sejenak.

Di kantor saya, istilah injury time juga sangat terkenal. Tapi istilah ini ga ada hubungannya dengan sepakbola. Istilah injury time di kantor justru berhubungan erat dengan jadwal sholat. Memang istilah ini diadopsi dari istilah sepakbola sih. Karena istilah injury time di kantor saya ditujukan buat temen-temen yang selalu mendirikan sholat di saat-saat waktu sholat hampir berakhir.

Misalnya, ada beberapa temen yang selalu sholat lohor pas udah deket banget sama sholat ashar. Jadi misalnya sholat Ashar jam 3.30, maka mereka sholat lohor jam 3.25. Pokoknya sengaja sampe mepet banget. Kalo ditanya kenapa sholat kok ampe mepet-mepet gitu waktunya? Jawabannya macem-macem.

Ada yang bilang 'sibuklah,' ada yang nyaut 'keasyikan kerja tau-tau udah deket Ashar.' Ada juga yang jawabnya asal njeplak, 'Biar efisien! Jadi sholat lohor sama ashar bisa kita lakukan hanya dengan satu kali wudhu.' Hahahahahaha sinting! Tapi yang paling spektakuler adalah yang jawabannya kayak gini, "Kalo di sepakbola ada injury time masa waktu sholat ga boleh?" Ancur!!!!!

Kebiasaan menunda sholat itu seringkali melahirkan kejadian-kejadian kocak. Misalnya ada seorang temen, namanya Sarip. Dia yang paling seneng beraksi di saat-saat injury time. Suatu sore di hari Jumat, dia lagi brainstorming sama teamnya. Jam udah menunjukkan Pukul 3. lewat.

Tiba-tiba salah satu teamnya ngomong, "Rip, lu ga sholat lohor? Udah jam 3.20 loh." Sambil menunjukkan jam tangannya.

Si Sarip kaget terus langsung ngabur ke musholla. Ambil wudhu secepat kilat langsung sholat. Saking takut keburu Ashar, dia sholatnya cepet banget. Ga tau ada surat-surat yang dikorbankan atau tidak, yang jelas dia bisa menyelesaikan sholatnya hanya dalam waktu kurang dari 1 menit. Wah hebat banget! Bisa masuk museum rekor Muri tuh.

Selesai sholat, dengan kepala masih basah oleh air wudhu dan sambil mengenakan kembali jam tangannya dia balik lagi ke teamnya. Dengan senyum-senyum puas karena masih sempet lohor dia nanya ke yang lain, "Lu semua ga sholat? Udah injury time loh?"

Mendadak semua orang pecah ketawanya. Ada yang ngakak sambil megang perut saking gelinya, ada yang ketawa sambil mengeluarkan suara jejeritan pokoknya heboh bangetlah. Si Sarip bingung dong? Apanya yang lucu? Bukannya udah biasa semua orang sholat di saat injury time?

Setelah suasana agak tenang, salah seorang staff, namanya Agus ngomong, "Rip. Ngapain lu sholat lohor? Sekarang kan hari jumat? Pan tadi lu udah sholat jumat bareng gue?"

Huahahahaha.Ternyata saking kebiasaan sholat di injury time, Si Sarip lupa kalo dia udah sholat jumat. Padahal kan kita ga perlu lagi sholat lohor kalo udah sholat jumat. Beginilah jadinya kalo orang suka sholat di injury time.

Di kantor ada beberapa orang yang sering ga sholat. Biasanya temen-temennya suka neror mereka, khususnya pas sholat jumat. Ada-ada aja cara meneror mereka. Yang paling sering kena terror di kantor adalah Edo.

"Edo, lu kan abis menang tender, masa sih lu ga mau sujud syukur sekali aja sekalian sholat jumat?" kata salah seorang teroris.

"Gue ada janji sama temen jam 1, takutnya ga sempet. Lain kali deh gue usahain." Sahut Edo berusaha berkelit.

"Jadi lu lebih memilih temen daripada Allah? Itu udah sirik namanya. Lu udah menempatkan temen lebih penting daripada Tuhan. Astaghfirulah." kata Si Peneror lalu dia bergaya kayak orang lagi berdoa, "Ya Allah hindarilah Edo dari siksa api neraka. Amin!" Kata si peneror sambil mengusap kedua tangannya ke wajah.

Kalo udah digituin biasanya Si Edo langsung ga enak. Akhirnya dia mau juga ikutan sholat jumat. Tapi, namanya juga langka ke mesjid, ada aja kejadian-kejadian lucu yang ga terpikirkan oleh yang biasa sholat.

Misalnya ketika banyak orang mengajak bersalaman *(Umumnya sehabis sholat orang suka ngajak kita salaman kan?)*, Si Edo langsung keheranan. Dia kira orang yang ngajak salaman itu ngajak kenalan. Makanya sebagaimana layaknya orang kenalan, Edo menyambut tangan orang yang ngajak salaman sambil menyebut namanya. 'Edo'. Salaman lagi sama yang lain, dia ngomong lagi 'Edo' Salaman lagi, ngomong lagi 'Saya Edo.'

Pas pulang dari mesjid, di perjalanan menuju kantor, dia ngomong gini, "Wah gue nyesel banget ga bawa kartu nama. Tadi di Mesjid banyak banget yang ngajak kenalan." Huahahahahahahahaha...

Ada lagi peristiwa yang juga kocak. Saat sholat jumat rakaat pertama, tiba-tiba handphone si Edo bunyi. Suara handphonenya kenceng banget dan berasal dari Nada sambung pribadiku. Lagunya lagu dangdut berjudul 'Kucing garong.'

Semua orang pastinya kesel dan geli mendengar suara HP itu. Si Edo juga panik, sehingga entah nyadar atau tidak, dia mengambil Hpnya dari kantong celana. Dengan suara berbisik dia menjawab panggilan telpon, "Ntar gue telpon lagi ya, gue lagi sholat." Klik. HP langsung dimatiin. Dan dia melanjutkan sholatnya tanpa memulai lagi dari awal. Hahahahahahaha..

Pernah juga Si Edo sholat jumat bareng sama saya. Pas lagi khotbah, dia berbisik, "Bud gue mau nanya. Lu kan biasanya orangnya byabyakan, cerewet dan heboh. Kenapa sih kalo di dalem mesjid kok lu sok wibawa?"

Saya nyaut bisik-bisik juga, "Sok wibawa? Kok lu bisa punya pikiran gitu?"

"Buktinya dari tadi lu ga ngomong sepatah kata pun. Lu ga cerita atau bikin joke, gue perhatiin lu dieem aja dari tadi."

Ampir saya ketawa ngakak. Setelah mengerahkan energi untuk menahan tawa, saya nyaut lagi ke dia, "Emang aturannya gitu, kalo khotib lagi khotbah kita ga bole ngomong."

Edo langsung sadar, "Oh gitu ya? Wah maap deh gue ga tau. Kalo gitu kita smsan aja yuk? Gimana? Kan ga ngeluarin suara?"

Ga semua orang kayak Edo. Ada beberapa orang yang sama sekali ga terpengaruh sama ajakan atau teror temennya. Setiap kali ada yang ngajak sholat jumat, ada yang nyautnya gini, "Sholat Jumat? Ga ah. Udah pernah." Atau "Udah khatam gue." Ada lagi yang ngomong "Dari kecil gue udah sholat jumat, sampe sekarang ga ada inovasi, gerakannya gitu-gitu aja dari dulu." Hahahahaha.pokoknya macem-macem jawabannya.

Bahkan seorang anak magang nyautnya lebih gila lagi. Setiap kali diajak sholat, sahutannya bener-bener unexpected. Dia bilang gini, "Sholat? Sholat itu mah nomor dua!"

Temen-temennya kaget dong sama jawabannya. Kok bisa-bisanya dia punya pemahaman seperti itu. Tapi mereka nanya juga "Kok sholat nomor dua? Yang nomor satu apa?"

Si Magang nyaut lagi, "Yang nomor satu, mengucapkan dua kalimat shahadat. Nomor dua, sholat 5 waktu. Nomor 3 berpuasa di Bulan Ramadhan. Nomor 4 berzakat. Nomor lima, pergi haji jika mampu." Hehehehehe dia malah bacain rukun islam loh, ada-ada aja..

Asep, seorang copywriter sering berkomentar terhadap orang yang susah diajak sholat. Komentarnya menarik, "Gue kagum sama Si Uli. Imannya kuat banget! Diajak sholat sama temennya nolak. Dihimbau sholat sama atasannya, ogah. Dipaksa sholat sama istrinya malah ngamuk. Dia susah dipengaruhi? Kuat banget imannya."

Kembali ke masalah injury time. Pernah ada peristiwa yang sangat menghebohkan dan sulit dilupakan oleh siapa saja yang mengalaminya. Jadi ceritanya begini. Seperti biasa, jam 5.58, Sarip mau sholat Ashar. Sholat Ashar loh ya, bukan sholat Magrib. Baru aja wudhu, tiba-tiba ada 6 orang yang datang ke mushola. Dan sesuai perkiraan, mereka mau sholat ashar semua. Penyakit injury time memang udah susah disembuhkan kalo udah stadium 8.

Nah ceritanya mereka pun mulai sholat. Dimulai dengan qomat atau adzan kecil dulu oleh salah seorang makmum. Sarip yang menjadi imamnya. Mungkin karena sholat berjemaah, Sarip ga enak kalo harus ngebut sholatnya. Dia sholat dengan kecepatan normal. Suasana sholat terlihat cukup khusuk.

Belum selesai mereka menyelesaikan sholat Asharnya, tiba-tiba suara adzan Magrib bergema menggetarkan selaput gendang telinga semua orang. Semua yang sholat terlihat gelisah. Kayaknya mereka bingung apakah sholat Asharnya harus diteruskan atau tidak. Akan tetapi sang Imam, Sarip, terus saja melanjutkan sholat.

Kebingungan makin menjadi ketika Sarip tiba-tiba duduk di raka'at ketiga dan melakukan tahiyat akhir. Sholat Ashar kan 4 raka'at, seharusnya tahiyat akhir harus dilakukan di raka'at keempat. Tapi namanya juga makmum, mereka ngikutin aja apa yang dilakukan si Imam.

Setelah mengucapkan dua kali salam kiri dan kanan, semua makmum langsung protes, "Rip, baru 3 rakaat nih. Sholat Ashar kan 4 rakaat?"

Yang lainnya juga bilang, "Iya Rip lu salah itung. Baru 3 raka'at."

Yang lain lagi punya ide, "Yuk kita tambahin lagi 1 rakaat. Biar pas jadi empat."

Dan apa jawaban Sarip? Dengan tenang dan dengan mimik seakan seorang pakar agama, dia menjawab, "Sebetulnya tadinya emang kita mau sholat Ashar, tapi di tengah perjalanan tiba-tiba waktu magrib udah masuk kan?"

"Terus gimana maksud lu?" Tanya yang lain.

"Nah, begitu gue denger adzan magrib, gue memutuskan untuk ngeganti sholat kita ini; dari Ashar jadi Magrib. Makanya pas rakaat ke tiga tadi, gue langsung tahiyat akhir. Sholat magrib cuma 3 rakaat kan?"

Hahahahahaha ancur banget ya anak-anak kantor saya *(Termasuk saya juga sih hehehehehe) *. Karena itulah secara berkala, presdir kantor kami suka manggil ustadz ke kantor. Dalam acara siraman rohani itu semua kelakuan dan pertanyaan yang ada langsung jadi topik bahasan. Semua ditanyakan pada ustadz tersebut. Dari smsan di mesjid, HP berdering pas lagi sholat dan tentu saja penyakit yang paling akut di dalam diri kita semua, Sholat di injury time.


*Sholat yuk?*


Oleh budiman hakim - 11 September 2009 -
http://nugon19.blogs.friendster.com/my_blog/
http://nugon19.multiply.com/journal
http://groups.yahoo.com/group/mualafindonesia/message/9569

15 Oktober 2009

Ketika Iffah Mulai Luntur

Ketika perpecahan keluarga menjadi tontonan yang ditunggu dalam sebuah episode infotainment setiap hari. Ketika aib seseorang ditunggu-tunggu ribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa. Ketika seorang selebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luar pernikahan yang sah sebagai ajang sensasi yang ditunggu-tunggu ...

Ada khabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang celebrities yang belum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur, berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.

Wuiih......mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya ya seperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.

Wuiiih......ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu, sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati apapun aktivitasnya diketahui orang, dikomentarin orang bahkan mohon maaf ....’dilecehkan’ orang, dan herannya perasaan yang didapat adalah kesenangan.

Fenomena itu bernama facebook, setiap saat para facebooker meng update statusnya agar bisa dinikmati dan dikomentarin lainnya. Lupa atau sengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga, menjadi kebanggaan di statusnya. Lihat saja beberapa status facebook :

*
Seorang wanita menuliskan “Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya.....?”------kemudian puluhan komen bermunculan dari lelaki dan perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan “mau ditemanin? Dijamin puas deh...”

*
Seorang wanita lainnya menuliskan “ Bangun tidur, badan sakit semua, biasa....habis malam jumat ya begini...:” kemudian komen-komen nakal bermunculan...

*
Ada yang menulis “ bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi....”,
----kemudian komen2 pelecehan bermunculan

*
Ada pula yang komen di wall temannya “eeeh ini si anu ya ...., yang dulu dekat dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu....”
----lupa kalau si anu sudah punya suami dan anak-anak yang manis

*
Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya “habis minum jamu nih...., ada yang mau menerima tantangan ?’----langsung berpuluh-puluh komen datang

*
Ada yang hanya menuliskan, “lagi bokek, kagak punya duit...”

*
Ada juga yang nulis “ mau tidur nih, panas banget...bakal tidur pake dalaman lagi nih”

*
Dan ribuan status-status yang numpang beken dan pengin ada komen-komen dari lainnya

Dan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata kita, telinga kita, bahkan pikiran kita.

Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakan hilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-hal yang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan.

*
Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru saja di upload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah raga memakai kaos dan celana pendek.....padahal sebagian besar yg didalam foto tersebut sudah berjilbab

*
Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnya dulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanita telah berkeluarga dan hidup dengan tenang

Rasanya hilang apa yang diajarkan seseorang yang sangat dicintai Allah...., yaitu Muhammad, Rasulullah kepada umatnya. Seseorang yang sangat menjaga kemuliaan dirinya dan keluarganya. Ingatkah ketika Rasulullah bertanya pada Aisyah “ Wahai Aisyah apa yang dapat saya makan pagi ini?” maka Istri tercinta, sang humairah, sang pipi merah Aisyah menjawab “ Rasul, kekasih hatiku, sesungguhnya tidak ada yang dapat kita makan pagi ini”. Rasul dengan senyum teduhnya berkata “baiklah Aisyah, aku berpuasa hari ini”. Tidak perlu orang tahu bahwa tidak ada makanan di rumah rasulullah....

Ingatlah Abdurahman bin Auf mengikuti Rasulullah berhijrah dari mekah ke madinah, ketika saudaranya menawarkannya sebagian hartanya, dan sebagian rumahnya, maka abdurahman bin auf mengatakan, tunjukan saja saya pasar. Kekurangannya tidak membuat beliau kehilangan kemuliaan hidupnya. Bahwasanya kehormatan menjadi salah satu indikator keimanan seseorang, sebagaimana Rasulullah, bersabda, “Malu itu sebahagian dari iman”. (Bukhari dan Muslim).

Dan fenomena di atas menjadi Tanda Besar buat kita umat Islam, hegemoni ‘kesenangan semu’ dan dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yang melindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diri dan keluarga.

Dan Rasulullah menegaskan dengan sindiran keras kepada kita “Apabila kamu tidak malu maka perbuatlah apa yang kamu mau.” (Bukhari). Arogansi kesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkit kembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yang semestinya dibuang saja atau disimpan rapat.

Bagi mereka para wanita yang menemukan jati dirinya, dibukakan cahayanya oleh Allah sehingga saat di masa lalu jauh dari Allah kemudian ter inqilabiyah – tershibghoh, tercelup dan terwarnai cahaya ilahiyah, hatinya teriris melihat masa lalunya dibuka dengan penuh senyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat.

Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu, mudah-mudahan Allah menjaga aib-aib kita.

Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita, simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan ‘kesenangan’, ‘gurauan’ membuat Iffah kita luntur tak berbekas.

Sumber FTJAI

--
Posting oleh akhrudianto ke Komunitas Nurani Islam 107koma7fm Kota
Tangerang pada 10/15/2009 07:54:00 AM

Telah Fitri-kah Kita

Telah fitrikah kita, kalau puasa belum merohanikan kehidupan kita
Telah fitrikah kita, kalau badan, harta dan kuasa dunia masih menjadi muatan utama kalbu kita
Telah fitrikah kita, kalau keberpihakan kita belum kepada orisinalitas diri dan keabadian
Telah fitrikah kita, kalau masih tumpah ruah cinta kita kepada segala yang tak terbawa ketika maut tiba
Telah fitrikah kita, kalau kepentingan dunia belum kita khatamkan, kalau untuk kehilangan yang selain Allah kita masih eman
Telah fitrikah kita, kalau kasih sayang dan ridha Allah masih belum kita temukan sebagai satu-satunya hakekat kebutuhan

Ya Allah, jangan biarkan Ramadlan meninggalkan jiwa kami
Ya Allah, jangan perkenankan langkah kami menjauh dari kemuliaan berpuasa
Ya Allah, halangilah kami dari nafsu melampiaskan, serta peliharalah kami dari disiplin untuk mengendalikan
Ya Allah, peliharalah Ramadlan dalam kesadaran kami
Ramadlan sepanjang jaman
Ramadlan sejauh kehidupan
Ramadlan sampai ufuk keabadian

Emha Ainun Nadjib
Refleksi Kesyukuran, Idul Fitri 1430 H

04 Oktober 2009

Pesta diatas Lumpur

Di sekeliling kita, sebuah pesta boleh diadakan. Pesta ini seharusnya adalah sebenar-benarnya pesta, tanpa kemabukan apa pun kecuali mabuk syukur ke hadirat Yang Maha Mengasihi. Kemabukan kepada-Nya, yang ampunan-Nya selalu lebih dulu daripada amarah-Nya; kepada-Nya, yang selalu membalas langkah canggung para pendosa yang hendak mendekatkan diri kepada-Nya dengan maaf-Nya yang berlari melebihi kecepatan cahaya; kepada-Nya, yang kasih-Nya selalu menarik rambut kesadaran makhluk yang dicintai-Nya dari penjara nafsu raganya yang sementara; dan kepada-Nya, yang pukulan kemarahan-Nya pun adalah anugerah tanah, udara, dan kehidupan yang tidak juga ada hentinya, hingga sujud juga hati yang semula hitam menjelaga dalam rasa malu yang tidak terkira.

Pangkuan ayah-bunda, genggaman tangan suami atau istri, ciuman takzim anak-anak, hingga sapaan indah yang tertera pada bingkisan, kartu, layar internet, dan telepon selular, yang adalah bahasa kasih-sayang yang sudah tersuling selama Ramadhan, tentu patut dirayakan dengan kesahajaan yang elok sekaligus dalam. Dan pesta ini, adalah layak jika ditegakkan di atas kesejahteraan. Maka tabungan pun dibuka, untuk dibelanjakan dan dihikmati bersama. Infak, sedekah, dan zakat fitrah dikeluarkan. Kebahagiaan disempurnakan tidak lagi dengan hanya mempertebal kantong pribadi, tetapi juga dengan mengosongkan isinya bagi hak-hak keluarga dan sesama, yang pada dasarnya adalah diri dalam raga yang lain.

Karenanya, selamat hari raya Idul Fitri. Selamat menghikmati hari kemenangan. Maafkan jika beberapa orang, termasuk saya, masih membaluti diri dengan pakaian hitam di sekujur tubuh, di balik mukena yang putih dan mulus. Maafkan jika ada air mata yang ingin melembekkan tanah keras yang menyangga dahi-dahi yang tengah bersujud, sejenak saja.

Beberapa hari yang lalu, seorang gadis yang tinggal di daerah pertemuan Sungai Citarum dan Citepus, Bandung, baru membangkitkan senyum pasrahnya dari balik lumpur. Lumpur ini bukan lumpur hati, tetapi lumpur sungguhan, yang menderas bersama air sungai yang muntah karena telah dipaksa berpuasa melebihi kapasitasnya oleh beton-beton pabrik yang ditanamkan tanpa rasa bersalah, di sekitar muara. Ini gadis hanyalah satu anak dari 260 anggota kepala keluarga yang bingung bersyukur, karena sudut-sudut rumah mereka diajak bertasbih oleh berton-ton cairan coklat berbau busuk yang membenamkan setengah rumah mereka hanya beberapa saat setelah kaki-kaki mereka menjejak lantai masjid untuk tarawih.

Kemenangan gadis itu, karenanya, hanyalah senyumnya, di dalam rumah kosong yang listriknya baru menyala lagi dalam hitungan hari, dan di antara gang-gang berlumpur setinggi kaki yang tengah bercerita tentang kematian sebuah wilayah hunian.

Pesta gadis itu, dan ratusan tetangganya yang lain, yang telah belasan malam menginap di tenda-tenda, hanyalah senyum, ketika satu dus bantuan pelipur duka sampai ke tangannya. Sepuluh tahun lagi, ketika ia mungkin telah menjadi ibu, entah bagaimana ia harus mendongeng kepada anaknya tentang Idul Fitri, sebagai hari raya.

By Miranda Risang Ayu
http://www.republika.co.id/

19 Agustus 2009

Ketika Matahari Sya'ban Tenggelam

Apakah yang hadir ketika matahari sore terakhir bulan Sya'ban tergelincir? Hanya kegelapan malamkah?

Mungkin kita termasuk Muslim yang melihatnya sebagai malam yang secara natural tidak berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kecuali bahwa pada sepertiga bagian akhirnya kita harus melawan kantuk untuk bersahur. Untuk mengantisipasi keletihan ekstra karena harus bangun malam dan berpuasa, Muslim yang menghikmati malam pertama Ramadhan dengan cara ini biasanya bersiap untuk terlibat dalam berbagai aktivitas yang bermanfaat sekaligus menghibur, untuk, paling tidak, mengalihkan konsentrasi dari keringnya kerongkongan hingga beduk berbuka berkumandang.

Atau, kita termasuk orang-orang yang tengah dipacu semangat kebenaran Islam, sehingga melihatnya sebagai malam yang seharusnya bercahaya. Malam itu haruslah diterangi oleh cahaya yang memancar dari dahi para peshalat tarawih, cahaya bulir-bulir tasbih yang dipilin dan cahaya pengetahuan dari ayat-ayat suci yang digemakan. Karenanya, malam itu adalah malam pertama ketika semua keharusan agama sedapat mungkin mulai dilaksanakan dan digenapkan. Malam itu adalah awal malam-malam penuh keharusan yang menantang sekaligus menggairahkan.

Uniknya, ada sebagian orang yang konon justru menemukan bahwa bersamaan dengan tergelincirnya matahari Sya'ban terakhir, dirinya juga tersungkur dalam keharuan tak terpikir. Sya'ban laksana bulan kritis ketika semua kelemahan telah begitu memberatkan kesadaran, tetapi harapan akan hadirnya Ramadhan pun telah matang. Maka, berbeda dengan kebanyakan orang, orang-orang ini justru merasa bahwa Ramadhan adalah bulan yang mengharu-biru oleh berkah. Ketika tak ada air menyegarkan kerongkongan, justru memancar air kemurahan-Nya dalam lubuk hati, mewartakan beningnya keikhlasan. Ketika tidak ada makanan mengencangkan persendian, bertaburan cahaya ilahiyah yang mengubah kerontang tengah hari menjadi hangatnya hati yang jingga oleh kerinduan kepada-Nya. Malam inipun menjadi malam awal yang penuh dengan gelegak puji dan derai air mata haru, yang semakin hari semakin tak terbahasakan, dan membekaskan kerinduan yang dalam ketika bulan itu akan berakhir.

Adakah orang-orang yang memasuki Ramadhan dengan kesahajaan orang-orang biasa, tetapi diam-diam, napasnya melantun bersama gemuruh tasbih yang cuma Tuhan yang tahu; dan masya Allah, ia sadar sesadar-sadarnya bahwa ia sedang menjadi bagian dari tasbih itu? Ketika kesedihan dan kegembiraan, perlahan tetapi pasti, memisahkan diri seperti baju, dan dirinya telanjang tak beraurat di hadapan tatapan-Nya Yang Maha Agung? Mungkinkah ada orang-orang yang tidak lagi merasakan keletihan, semangat, keharuan, atau apa pun lagi selain rasa abadi bersama-Nya yang diteguhkan, yang telah lama dikenalnya?

Jika ada, debu terompah mereka pun pasti telah terpapar oleh cahaya keabadian. Dan sungguh, saya ingin mendapatkan debu itu sebutir saja, bagi malam yang jerih, yang telah tahunan menyaput hati saya.



Oleh: Miranda Risang Ayu
www.republika.co.id

Kebangsaan

"Merah putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi,
di Indonesiaku ini"(lagu 'Bendera' pencipta Erros/So7)

Selalu ada saat yang membuat kita terharu di hari-hari seperti sekarang. Mungkin saat itu kita sedang melihat pengasong tengah menawarkan merah-putih kecil dagangannya. Siang menyengat, debu mengepul, dan ia terpanggang oleh keduanya. Tapi, ia tetap antusias menjual bendera itu. Saat lainnya mungkin ketika kita melihat anak-anak TK tersenyum lebar di karnaval dengan pakaian nasionalnya. Atau, saat kita menyimak lirik lagu yang dinyanyikan Kikan Cokelat dengan suara khasnya itu.

Saat-saat demikian terasa begitu menenteramkan. Ada rasa lega yang menyejukkan dada. Yakni, bahwa rasa kebangsaan masih ada di tengah-tengah kita. Rasa kebangsaan itu dengan mudah kita temui hampir di setiap RT di seluruh negeri ini. Merah putih, umbul-umbul, lomba-lomba, dan puluhan bentuk kemeriahaan lain tetap menjadi warna bangsa ini. Warna-warna itu melekat kuat di hati sebagian besar rakyat.
Pertanyaannya kemudian: mampukah rasa kebangsaan itu mengangkat bangsa kita ke jenjang peradaban yang lebih terhormat di percaturan bangsa-bangsa?
Semestinya ya. Semua bangsa maju di dunia selalu tumbuh dengan akar kebangsaan kuat. Rasa sepenanggungan para imigran Eropa di Amerika telah menggumpal menjadi rasa kebangsaan yang kental. Dengan itulah Amerika dapat menjadikan diri sebagai penguasa dunia. Kebangsaan yang berakar panjang dalam sejarah peradaban Jepang telah membangkitkan bangsa itu dari luluh lantak akibat perang menjadi salah satu bangsa termaju di dunia. Rasa kebangsaan yang diekspresikan sebagai tekad tak mau kalah dari tetangga mendorong Korea Selatan membalik statusnya dari negara miskin menjadi salah satu bangsa paling sentosa di Asia.

Kebangsaan juga menjadi kunci bangkit Cina, India, hingga Thailand. Kesadaran sebagai bangsa besar membuat Cina mampu gagah melangkah di jalannya sendiri. Pilihannya itu terbukti mampu membuatnya menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Kebangsaan membuat anak-anak bangsa India menguasai kehidupan ekonomi di tanah airnya sendiri, juga mengendalikan bursa tenaga kerja papan atas dunia. Kebangsaan bahkan telah mengangkat tetangga kita, Thailand, menjadi negara yang paling diminati warga Eropa untuk dikunjungi. Juga telah menyulap negara itu sebagai salah satu produsen mobil terpenting di dunia. Sebagian besar mobil baru merek Jepang yang memenuhi pasar kita adalah hasil produksi Thailand.
Pada bangsa kita, rasa kebangsaan itu telah menghasilkan apa selain kemeriahan perayaan 17 Agustusan di kampung-kampung? Apa sebenarnya wujud kebangsaan yang kita punyai? Sungguh punyakah kita rasa kebangsaan?
Sutan Takdir Alisjahbana berkeliling ke berbagai negara buat merumuskan format yang pas tentang kebangsaan kita. Ia mencoba menggelindingkan dialektika serupa yang berlangsung di Jepang zaman Restorasi Meiji. Soekarno telah mengekspresikan sikap kebangsaan dalam retorika maupun langkah politik. Hatta telah menyisihkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menerjemahkan sikap kebangsaan dalam sistem ekonomi dan demokrasi. Kita bukan melanjutkan kerja besar itu, tapi cenderung memorak-porandakannya.

Kita cenderung tidak menghargai saudara serta milik kita sendiri. Kita gampang terkagum-kagum pada 'orang lain'. Kita menggandrungi atribut-atribut asing. Gerai waralaba makanan cepat saji yang dipandang prestisius adalah berlabel asing. Atau, setidaknya berkonotasi asing.

Duta budaya kita lewat sinetron atau lainnya yang kita hargai adalah yang berwajah dengan nuansa asing. Kita tidak peduli, kalaupun tidak malah menjauhi, produk elektronik yang berkandungan lokal tinggi. Kita merasa gengsi bila menggunakan merek dan produk yang lebih asing. Kita bahkan bersikap lebih ramah, lebih percaya, bahkan siap membayar lebih mahal pada asing dibanding pada saudara sebangsa sendiri.

Mungkinkah suatu bangsa dengan kualitas kebangsaan seperti ini dapat berjaya? Akal sehat maupun realitas jelas menjawab, "Tidak." Bangsa yang maju adalah bangsa yang berani mengibarkan benderanya sendiri di ujung tiang yang tinggi kehidupan sehari-hari tanpa kecuali.



Zaim Uchrowi , dalam www.Republika.co.id

18 Agustus 2009

It’s Only Love

Perempuan itu memegang erat tangan saya. Napasnya mulai tersengal. Satu-satu. “Dokter,” ia memanggil terbata-bata. Helaan selanjutnya ia berhenti, ia tak mampu melanjutkan. Hanya memegang tangan saya. Saya mengetuk-ngetuk dadanya yang tirus, mengganggunya dengan stetoskop yang mulai afkir. Saya pandangi perempuan muda di sampingnya. Setelah saya lepas semua perkakas, ia bertanya, “Ibu bagaimana?” Tekanan darahnya terus turun. Perlahan, tapi pasti. Hasil analisis gas darahnya pun memburuk.

Kami putuskan memberikan dopamine dan dobutamin, sekaligus tambahan oksigen lewat sungkup. Saya awasi hampir lima belas menit sekali. Itu titah senior, kalau tak boleh dibilang sabda. Saya menurut tunduk perintahnya yang tanpa amarah sama sekali. “Dik, tolong ya,” begitu rayunya suatu kali. Dalam tatapannya saya melihat rona pesimis yang teramat dalam. Begitu pun setiap kali saya masuk ruangan. Suaminya hanya menunduk pasrah di samping sambil memegang tangan si ibu. Berkali-kali ia bertanya, “Bagaimana, Dok?” Helaan napas itu pun bergilir. Saya tak mampu menjawab dengan sempurna.

Satu hari saya lewati semua rutinitas. Datang ke kamarnya menjinjing sfigmomanometer dengan stetoskop yang melingkar di leher, menyapa sang bapak, lalu memeriksa dengan tatapan kemudian yang hampir pasti: memburuk. Tapi, si ibu memang bertahan. Lebih lama dari perkiraan kami. Tumor yang semula hanya bersemayam di organ kandungannya kini menyebar ke paru-parunya, membentuk lesi serupa koin yang tersebar dalam foto rontgen. Gerakannya makin lemah, napasnya makin tersengal. Hari kedua, ia tak lagi mendengar panggilan saya. Hanya membuka mata jika saya menepuk-nepuk pundaknya.

“Bapaknya nggak mau diperiksa lagi.” Senior saya masuk ruangan. Wajahnya hampir lusuh. Saya tahu pasiennya terlalu banyak untuk diurus. Maka kehadiran kami adalah anugerah baginya. Memeriksa pasien mereka, membantu menulisnya di rekam medik, hingga menindaklanjuti semua pengobatan dan pemeriksaan yang harus dilakukan. “Mau bagaimana lagi?” Dia melanjutkan tanpa gairah. Saya keluar ruangan, melirik sebentar ke arah kamar yang hampir lima belas menit sekali itu saya datangi. Ada si suami. Memanggil-manggil saya sambil berbisik dengan nyaris sempurna.

“Harus diperiksa lagi?” tanyanya. Saya hanya bilang, untuk kebaikan ibu. Tapi, ia menolak. Toh, akhirnya hari kedua berlalu dengan aman. Tak ada isak tangis, kecuali dari kerabat yang baru datang dan melihat kondisinya.

Sampai akhirnya saya mendengar isak tangis yang mulai bergemuruh di hari ketiga. Ada bacaan Yasin yang menggelora dari dua wanita saat saya masuk ke ruangannya. Saya tatap mata sang suami yang semakin nanar. Sejak itu saya paham betapa rumitnya mempersiapkan rasa kehilangan agar ia terasa tak membebat dada. Sejak saat itu pula saya mengerti sulitnya menumbuhkan keikhlasan untuk dapat dengan sempurna melepas kepergiaan seseorang yang dicintainya.

Lebih dari dua puluh lima tahun mereka terikat dalam sebuah pernikahan. Anak-anaknya telah beranjak dewasa, membangun mahligai pernikahan yang dulu juga pernah mereka susun. Tanpa disebutkan pun, saya tahu sudah terlampau banyak liku yang mereka hadapi dan lalui. Bersama. Dengan mulus atau pertikaian terlebih dahulu. Betapapun, sehebat apapun pertengkaran yang pernah mereka lewati di dalam rumah, saya tak menemuinya di ruangan ini. Hanya ada cinta yang bertebaran. Dalam genggaman tangannya. Erat mereka bergenggaman. Dalam senyumannya yang dipaksakan terus manis dalam kesakitannya. Dalam air mata yang tiba-tiba saja menetes ke punggung tangan saya. Saya melihat itu. Saya menyaksikan betapa cinta menembus segala rasa sakit.

“Dokter…” Saya masih ingat dengan jernih panggilannya saat terakhir kali saya mendengar suaranya. Setelah itu saya hanya melihat dirinya yang terpejam dan tersengal. Hingga akhirnya tangis pecah juga. Menebarkan cinta ke seluruh penjuru rumah sakit.

Saya baru selesai diskusi saat itu sampai kemudian si suami menemui saya dan menggenggam tangan saya. Erat. Erat sekali. Berterima kasih berkali-kali bahwa saya begitu telaten merawat istrinya. Berterima kasih betapa saya begitu serius menjawab segala pertanyaannya. Lalu, meminta maaf sejadi-jadinya. “Maaf, Dokter. Bukan saya marah waktu itu. Saya menolak pemeriksaan selanjutnya karena saya merasa Izrail sudah datang. Keluar masuk kamar ini.” Setelah itu, yang hadir adalah tetesan air mata yang jatuh satu per satu.

“Dokter mungkin tak melihat, tapi saya merasakan.” Kalimat itu yang membuat air mata saya ikut menggenang. Saya tak pernah temui pelajaran ini di kelas. Mengikuti cinta yang begitu mendalam hingga mampu merasakan kehadiran yang tak pernah dirasakan hati yang tak diselimuti cinta. Betapa saya merunduk waktu itu. Cinta bukan sekadar soal memiliki, tapi kerelaan untuk melepas. Cinta tak hanya berputar pada kata-kata, tapi pada kedalaman ikatan rasa.

i try to remember
it’s only love
we had to surrender
there’s no more us
the world keeps on turning
and i carry on
the dream of another you
the song that i hold on to*

Semua orang menginginkan kematian yang sempurna. Saat semua amal telah diliputi keikhlasan yang sejati. Saat penghambaan tak menemui rasa pamrihnya. Saat kepergiannya disertai kerelaan orang-orang yang dicintainya –meski sakitnya lebih dari 300 tusukan pedang, kata Ali ra. Tapi, setiap orang memang memiliki jalannya masing-masing. Jalan yang ia pilih di saat napasnya masih spontan dan kuat, saat matanya masih membelalak, saat senyumnya masih mengembang, saat cintanya masih bertebaran.

Kamar itu saya masuki lagi. Berdoa, lantas memegang pundak si suami. Semoga kesabaran meliputinya.

Beribu teori kematian masuk ke otak saya. Mati klinis, mati batang otak. Ribuan ayat saya baca dan hafal. Hanya satu kejadian yang membuat semuanya luluh untuk kembali ingat kepada kekuasaanNya. Meraba-raba, jangan-jangan Izrail mengintip setiap malam di lubang ventilasi kamar saya. Lalu, saya menangis. Berdoa sejadi-jadinya.

* Michael Learns to Rock. It’s Only Love.
Jakarta, Agustus 2009


Oleh farranasir - 18 Augustus 2009 -

14 Agustus 2009

Bagaimana Menyambut Ramadhan?

Agar puasa Ramadhan dapat dikerjakan dengan sempuma dan mendapatkan pahala dari Allah SWT, maka hendaknya melakukan hal-hal berikut:

1. Mempersiapkan jasmani dan rohani, mental spiritual seperti membersihkan lingkungan, badan, pikiran dan hati dengan memperbanyak permohonan ampun kepada Allah SWT dan minta maaf kepada sesama manusia.

2. Menyambut bulan suci Ramadhan dengan rasa senang dan gembira karena akan meraih kebajikan yang berlipat ganda.

3. Meluruskan niat yang tulus ikhlas, hanya ingin mendapat ridha Allah SWT. Karena setan tidak akan mampu mengganggu orang yang tulus ikhlas dalam ibadah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al­-Hijr ayat 39-40:

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. (QS Al-Hijr: 39-40)

4. Berpuasa dengan penuh sabar untuk melatih fisik dan mental, karena kesabaran itu akan mendapat pahala yang sangat banyak. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az-­Zumar: 10)

5. Segera berbuka jika waktunya sudah tiba dan, mengakhirkan makan sahur. Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا أَخَرُّوْا السَّحُوْرَ وَعَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
Umatku senantiasa berada dalam kebaikan jika mereka menyegerakan buka dan mengakhirkan sahur. (HR Ahmad).

6. Berdoa waktu berbuka.
Rasulullah SAW selalu berdoa ketika berbuka puasa, dengan membaca doa:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أفْطَرْتُ
Ya Allah, Aku berpuasa hanya untuk­Mu dan dengan rizki-Mu aku berbuka. (HR. Abu Dawud)

ذَهَبَ الظَّمَاءُ وَابْتَلَّتْ العُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأجْرُ إنْ شَاءَ اللهُ
Hilanglah rasa haus, tenggorakan menjadi basah, semoga pahala ditetapkan, Insya Allah. (HR Abu Dawud)

7. Berbuka dengan kurma, atau air. Rasulullah SAW bersabda:

كَانَ رَسُوْْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْتِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أنْ يُصَلِّيَ فَإنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاةٍ مِنْ مَاءٍ
Rasulullah SAW berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat maghrib, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka berbuka dengan beberapa teguk air. (HR Abu Dawud)

8. Bersedekah sebanyak-banyaknya. Karena sedekah yang paling baik adalah pada bulan Ramadhan.

9. Memperbanyak membaca Al-Qur’an, menghayati dan mengamalkannya, sebagaimana Rasulullah SAW setiap bulan didatangi Malaikat Jibril untuk mengajarkan Al­Qur'an. Al-Qur'an yang dibaca pada bulan Ramadhan akan memberi syafaat kepada pembacanya kelak di hari kiamat.


10. Meninggalkan kata-kata kotor dan tidak bermanfaat, karena akan menghilangkan pahala puasa. Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ فَيْ أنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Siapa saja (selagi puasa) tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukan berbuat tidak bermanfaat, maka tidak ada artinya disisi Allah, walau dia tidak makan atau minum. (HR Bukhari)

11. Tidak bermalas-malasan dalam semua aktivitas dengan alasan berpuasa, karena puasa bukan menghambat aktivitas dan produkvitas justru meningkatkan prestasi.

12. I'tikaf di masjid terutama pada 10 hari akhir bulan Ramadhan. Rasulullah SAW membiasakan I'tikaf pada sepuluh hari terakhir tiap bulan Ramadhan. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi SAW selalu I'tikaf pada 10 hari terakhir bula Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istri beliau juga beri’tikaf setelahnya. (HR Bukhari)

13. Memperbanyak ibadah, shalat malam dengan mengajak keluarga untuk ibadah malam.

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأحْياَ لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ
Apabila memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW lebih giat ibadah, menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya. (HR Bukhari)

14. Bagi yang mampu dianjurkan untuk Umrah dibulan Ramadhan, karena pahala-nya seperti berhaji.

15. Memperbanyak membaca Tasbih, karena sekali tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari seribu tasbih diluar Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:

تَسْبِيْحَةٌ فِيْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ ألْفِ تَسْبِيْحَةٍ فِيْ غَيْرِهِ
Sekali membaca tasbih dibulan Ramadhan lebih baik dari 1000 kali tasbih di luar bulan Ramadhan. (HR Tirmidzi)

Hal-Hal yang Makruh Ketika Puasa
Beberapa hal berikut tidak membatalkan puasa tetapi bisa membatalkan puasa jika tidak berhati-hati, yaitu:
1. Berlebihan dalam berkumur dan menghisap air ke hidung ketika wudhu.
2. Berciuman dengan istri, karena dikhawatirkan membangkitkan syahwat.
3. Mencicipi makanan, karena dikhawatirkan akan tertelan.
4. Berbekam (cantuk), dikhawatirkan membuat badan lemah.
5. Memandang istri dengan syahwat.
6. Menggosok gigi dengan berlebihan, dikhawatirkan akan tertelan.
7. Tidur sepanjang hari.


Hal-Hal yang Boleh Dikerjakan Ketika Puasa
Berikut ini boleh dikerjakan oleh orang yang sedang puasa:

1. Bersiwak
2. Berobat dengan obat yang halal dengan syarat tidak memasukkan sesuatu ke dalam lubang-lubang rongga badan, seperti boleh menggunakan jarum suntik asal tidak memasukkan gizi makanan.
3. Memakai minyak wangi, minyak angin atau balsem.
4. Melakukan perjalan jauh, walaupun akan membatalkan puasanya.
5. Mendinginkan badan dengan air ketika udara sangat panas.
6. Memasukkan oksigen.
7. Memasukkan alat-alat kedokteran tapi bukan tujuan mengenyangkan.
8. Menggauli istri pada malam hari, berdasarkan firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari, bulan puasa bercampur dengan isteri­-isteri kamu... (QS. Al-Baqarah: 187)


KH. A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

31 Juli 2009

Hebatnya Huruf T

Tatkala Temperatur Terik Terbakar Terus, Tukang Tempe Tetap Tabah, "Tempe-tempe" , Teriaknya. Ternyata Teriakan Tukang Tempe Tadi Terdengar Tukang Tahu, Terpaksa Teriakannya Tambah Tinggi, "Tahu...Tahu. ..Tahu... !"

"Tempenya Terbaik, Tempenya Terenak, Tempenya Terkenal!!", Timpal Tukang Tempe .

Tukang Tahu Tidak Terima,"Tempenya Tengik, Tempenya Tawar, Tempenya Terjelek.... !" Tukang Tempe Tertegun, Terhenyak, "Teplakkk... !" Tamparannya Tepat Terkena Tukang Tahu.

Tapi Tukang Tahu Tidak Terkalahkan, Tendangannya Tepat Terkena Tulang Tungkai Tukang Tempe . Tukang Tempe Terjengkang Tumbang! Tapi Terus Tegak, Tatapannya Terhunus Tajam Terhadap Tukang Tahu. Tetapi, Tukang Tahu Tidak Terpengaruh Tatapan Tajam Tukang Tempe Tersebut, "Tidak Takut!!" Tantang Tukang Tahu.

Tidak Ternyana Tangan Tukang Tempe Terkepal, Tinjunya Terarah, Terus Tonjokkannya Tepat Terkena Tukang Tahu, Tak Terelakkan! Tujuh Tempat Terkena Tinjunya, Tonjokan Terakhir Tepat Terkena Telak. Tukang Tahu Terjerembab."Tolong.. Tolong.. Tolong..!", Teriaknya Terdengar Tinggi. Tetapi Tanpa Tunda Tempo, Tukang Tempe Teruskan Teriakannya, " Tempe .. Tempe .. Tempe ..!!" Tukang Tahu Tambah Teriak Tararahu.. Tararahu, Tandingin Tararempe.. Tararempe.. Tape Teh...


Sumber: Milis e-ketawa

22 April 2009

Emak ku Bukan Kartini

Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab). Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.

Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. "Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi cendekia." Emak hanya bisa menangis.

Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan.

Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.

Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.

Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.

***

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.

Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.

Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.

***

Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya. "Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku." begitu tekadnya. Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.

Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.

Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di kampung kami.

***

Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.

Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, "Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak." Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah. Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. "Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana."

Aku bujuk Emak. "Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi." Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.

Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.

Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.

Sedihkah Emak? "Sepi", katanya. "tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga."

***

Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami.

By: Sutan Paruik Gadang