19 Agustus 2009

Kebangsaan

"Merah putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi,
di Indonesiaku ini"(lagu 'Bendera' pencipta Erros/So7)

Selalu ada saat yang membuat kita terharu di hari-hari seperti sekarang. Mungkin saat itu kita sedang melihat pengasong tengah menawarkan merah-putih kecil dagangannya. Siang menyengat, debu mengepul, dan ia terpanggang oleh keduanya. Tapi, ia tetap antusias menjual bendera itu. Saat lainnya mungkin ketika kita melihat anak-anak TK tersenyum lebar di karnaval dengan pakaian nasionalnya. Atau, saat kita menyimak lirik lagu yang dinyanyikan Kikan Cokelat dengan suara khasnya itu.

Saat-saat demikian terasa begitu menenteramkan. Ada rasa lega yang menyejukkan dada. Yakni, bahwa rasa kebangsaan masih ada di tengah-tengah kita. Rasa kebangsaan itu dengan mudah kita temui hampir di setiap RT di seluruh negeri ini. Merah putih, umbul-umbul, lomba-lomba, dan puluhan bentuk kemeriahaan lain tetap menjadi warna bangsa ini. Warna-warna itu melekat kuat di hati sebagian besar rakyat.
Pertanyaannya kemudian: mampukah rasa kebangsaan itu mengangkat bangsa kita ke jenjang peradaban yang lebih terhormat di percaturan bangsa-bangsa?
Semestinya ya. Semua bangsa maju di dunia selalu tumbuh dengan akar kebangsaan kuat. Rasa sepenanggungan para imigran Eropa di Amerika telah menggumpal menjadi rasa kebangsaan yang kental. Dengan itulah Amerika dapat menjadikan diri sebagai penguasa dunia. Kebangsaan yang berakar panjang dalam sejarah peradaban Jepang telah membangkitkan bangsa itu dari luluh lantak akibat perang menjadi salah satu bangsa termaju di dunia. Rasa kebangsaan yang diekspresikan sebagai tekad tak mau kalah dari tetangga mendorong Korea Selatan membalik statusnya dari negara miskin menjadi salah satu bangsa paling sentosa di Asia.

Kebangsaan juga menjadi kunci bangkit Cina, India, hingga Thailand. Kesadaran sebagai bangsa besar membuat Cina mampu gagah melangkah di jalannya sendiri. Pilihannya itu terbukti mampu membuatnya menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Kebangsaan membuat anak-anak bangsa India menguasai kehidupan ekonomi di tanah airnya sendiri, juga mengendalikan bursa tenaga kerja papan atas dunia. Kebangsaan bahkan telah mengangkat tetangga kita, Thailand, menjadi negara yang paling diminati warga Eropa untuk dikunjungi. Juga telah menyulap negara itu sebagai salah satu produsen mobil terpenting di dunia. Sebagian besar mobil baru merek Jepang yang memenuhi pasar kita adalah hasil produksi Thailand.
Pada bangsa kita, rasa kebangsaan itu telah menghasilkan apa selain kemeriahan perayaan 17 Agustusan di kampung-kampung? Apa sebenarnya wujud kebangsaan yang kita punyai? Sungguh punyakah kita rasa kebangsaan?
Sutan Takdir Alisjahbana berkeliling ke berbagai negara buat merumuskan format yang pas tentang kebangsaan kita. Ia mencoba menggelindingkan dialektika serupa yang berlangsung di Jepang zaman Restorasi Meiji. Soekarno telah mengekspresikan sikap kebangsaan dalam retorika maupun langkah politik. Hatta telah menyisihkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menerjemahkan sikap kebangsaan dalam sistem ekonomi dan demokrasi. Kita bukan melanjutkan kerja besar itu, tapi cenderung memorak-porandakannya.

Kita cenderung tidak menghargai saudara serta milik kita sendiri. Kita gampang terkagum-kagum pada 'orang lain'. Kita menggandrungi atribut-atribut asing. Gerai waralaba makanan cepat saji yang dipandang prestisius adalah berlabel asing. Atau, setidaknya berkonotasi asing.

Duta budaya kita lewat sinetron atau lainnya yang kita hargai adalah yang berwajah dengan nuansa asing. Kita tidak peduli, kalaupun tidak malah menjauhi, produk elektronik yang berkandungan lokal tinggi. Kita merasa gengsi bila menggunakan merek dan produk yang lebih asing. Kita bahkan bersikap lebih ramah, lebih percaya, bahkan siap membayar lebih mahal pada asing dibanding pada saudara sebangsa sendiri.

Mungkinkah suatu bangsa dengan kualitas kebangsaan seperti ini dapat berjaya? Akal sehat maupun realitas jelas menjawab, "Tidak." Bangsa yang maju adalah bangsa yang berani mengibarkan benderanya sendiri di ujung tiang yang tinggi kehidupan sehari-hari tanpa kecuali.



Zaim Uchrowi , dalam www.Republika.co.id