18 Agustus 2009

It’s Only Love

Perempuan itu memegang erat tangan saya. Napasnya mulai tersengal. Satu-satu. “Dokter,” ia memanggil terbata-bata. Helaan selanjutnya ia berhenti, ia tak mampu melanjutkan. Hanya memegang tangan saya. Saya mengetuk-ngetuk dadanya yang tirus, mengganggunya dengan stetoskop yang mulai afkir. Saya pandangi perempuan muda di sampingnya. Setelah saya lepas semua perkakas, ia bertanya, “Ibu bagaimana?” Tekanan darahnya terus turun. Perlahan, tapi pasti. Hasil analisis gas darahnya pun memburuk.

Kami putuskan memberikan dopamine dan dobutamin, sekaligus tambahan oksigen lewat sungkup. Saya awasi hampir lima belas menit sekali. Itu titah senior, kalau tak boleh dibilang sabda. Saya menurut tunduk perintahnya yang tanpa amarah sama sekali. “Dik, tolong ya,” begitu rayunya suatu kali. Dalam tatapannya saya melihat rona pesimis yang teramat dalam. Begitu pun setiap kali saya masuk ruangan. Suaminya hanya menunduk pasrah di samping sambil memegang tangan si ibu. Berkali-kali ia bertanya, “Bagaimana, Dok?” Helaan napas itu pun bergilir. Saya tak mampu menjawab dengan sempurna.

Satu hari saya lewati semua rutinitas. Datang ke kamarnya menjinjing sfigmomanometer dengan stetoskop yang melingkar di leher, menyapa sang bapak, lalu memeriksa dengan tatapan kemudian yang hampir pasti: memburuk. Tapi, si ibu memang bertahan. Lebih lama dari perkiraan kami. Tumor yang semula hanya bersemayam di organ kandungannya kini menyebar ke paru-parunya, membentuk lesi serupa koin yang tersebar dalam foto rontgen. Gerakannya makin lemah, napasnya makin tersengal. Hari kedua, ia tak lagi mendengar panggilan saya. Hanya membuka mata jika saya menepuk-nepuk pundaknya.

“Bapaknya nggak mau diperiksa lagi.” Senior saya masuk ruangan. Wajahnya hampir lusuh. Saya tahu pasiennya terlalu banyak untuk diurus. Maka kehadiran kami adalah anugerah baginya. Memeriksa pasien mereka, membantu menulisnya di rekam medik, hingga menindaklanjuti semua pengobatan dan pemeriksaan yang harus dilakukan. “Mau bagaimana lagi?” Dia melanjutkan tanpa gairah. Saya keluar ruangan, melirik sebentar ke arah kamar yang hampir lima belas menit sekali itu saya datangi. Ada si suami. Memanggil-manggil saya sambil berbisik dengan nyaris sempurna.

“Harus diperiksa lagi?” tanyanya. Saya hanya bilang, untuk kebaikan ibu. Tapi, ia menolak. Toh, akhirnya hari kedua berlalu dengan aman. Tak ada isak tangis, kecuali dari kerabat yang baru datang dan melihat kondisinya.

Sampai akhirnya saya mendengar isak tangis yang mulai bergemuruh di hari ketiga. Ada bacaan Yasin yang menggelora dari dua wanita saat saya masuk ke ruangannya. Saya tatap mata sang suami yang semakin nanar. Sejak itu saya paham betapa rumitnya mempersiapkan rasa kehilangan agar ia terasa tak membebat dada. Sejak saat itu pula saya mengerti sulitnya menumbuhkan keikhlasan untuk dapat dengan sempurna melepas kepergiaan seseorang yang dicintainya.

Lebih dari dua puluh lima tahun mereka terikat dalam sebuah pernikahan. Anak-anaknya telah beranjak dewasa, membangun mahligai pernikahan yang dulu juga pernah mereka susun. Tanpa disebutkan pun, saya tahu sudah terlampau banyak liku yang mereka hadapi dan lalui. Bersama. Dengan mulus atau pertikaian terlebih dahulu. Betapapun, sehebat apapun pertengkaran yang pernah mereka lewati di dalam rumah, saya tak menemuinya di ruangan ini. Hanya ada cinta yang bertebaran. Dalam genggaman tangannya. Erat mereka bergenggaman. Dalam senyumannya yang dipaksakan terus manis dalam kesakitannya. Dalam air mata yang tiba-tiba saja menetes ke punggung tangan saya. Saya melihat itu. Saya menyaksikan betapa cinta menembus segala rasa sakit.

“Dokter…” Saya masih ingat dengan jernih panggilannya saat terakhir kali saya mendengar suaranya. Setelah itu saya hanya melihat dirinya yang terpejam dan tersengal. Hingga akhirnya tangis pecah juga. Menebarkan cinta ke seluruh penjuru rumah sakit.

Saya baru selesai diskusi saat itu sampai kemudian si suami menemui saya dan menggenggam tangan saya. Erat. Erat sekali. Berterima kasih berkali-kali bahwa saya begitu telaten merawat istrinya. Berterima kasih betapa saya begitu serius menjawab segala pertanyaannya. Lalu, meminta maaf sejadi-jadinya. “Maaf, Dokter. Bukan saya marah waktu itu. Saya menolak pemeriksaan selanjutnya karena saya merasa Izrail sudah datang. Keluar masuk kamar ini.” Setelah itu, yang hadir adalah tetesan air mata yang jatuh satu per satu.

“Dokter mungkin tak melihat, tapi saya merasakan.” Kalimat itu yang membuat air mata saya ikut menggenang. Saya tak pernah temui pelajaran ini di kelas. Mengikuti cinta yang begitu mendalam hingga mampu merasakan kehadiran yang tak pernah dirasakan hati yang tak diselimuti cinta. Betapa saya merunduk waktu itu. Cinta bukan sekadar soal memiliki, tapi kerelaan untuk melepas. Cinta tak hanya berputar pada kata-kata, tapi pada kedalaman ikatan rasa.

i try to remember
it’s only love
we had to surrender
there’s no more us
the world keeps on turning
and i carry on
the dream of another you
the song that i hold on to*

Semua orang menginginkan kematian yang sempurna. Saat semua amal telah diliputi keikhlasan yang sejati. Saat penghambaan tak menemui rasa pamrihnya. Saat kepergiannya disertai kerelaan orang-orang yang dicintainya –meski sakitnya lebih dari 300 tusukan pedang, kata Ali ra. Tapi, setiap orang memang memiliki jalannya masing-masing. Jalan yang ia pilih di saat napasnya masih spontan dan kuat, saat matanya masih membelalak, saat senyumnya masih mengembang, saat cintanya masih bertebaran.

Kamar itu saya masuki lagi. Berdoa, lantas memegang pundak si suami. Semoga kesabaran meliputinya.

Beribu teori kematian masuk ke otak saya. Mati klinis, mati batang otak. Ribuan ayat saya baca dan hafal. Hanya satu kejadian yang membuat semuanya luluh untuk kembali ingat kepada kekuasaanNya. Meraba-raba, jangan-jangan Izrail mengintip setiap malam di lubang ventilasi kamar saya. Lalu, saya menangis. Berdoa sejadi-jadinya.

* Michael Learns to Rock. It’s Only Love.
Jakarta, Agustus 2009


Oleh farranasir - 18 Augustus 2009 -