19 Agustus 2009

Ketika Matahari Sya'ban Tenggelam

Apakah yang hadir ketika matahari sore terakhir bulan Sya'ban tergelincir? Hanya kegelapan malamkah?

Mungkin kita termasuk Muslim yang melihatnya sebagai malam yang secara natural tidak berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kecuali bahwa pada sepertiga bagian akhirnya kita harus melawan kantuk untuk bersahur. Untuk mengantisipasi keletihan ekstra karena harus bangun malam dan berpuasa, Muslim yang menghikmati malam pertama Ramadhan dengan cara ini biasanya bersiap untuk terlibat dalam berbagai aktivitas yang bermanfaat sekaligus menghibur, untuk, paling tidak, mengalihkan konsentrasi dari keringnya kerongkongan hingga beduk berbuka berkumandang.

Atau, kita termasuk orang-orang yang tengah dipacu semangat kebenaran Islam, sehingga melihatnya sebagai malam yang seharusnya bercahaya. Malam itu haruslah diterangi oleh cahaya yang memancar dari dahi para peshalat tarawih, cahaya bulir-bulir tasbih yang dipilin dan cahaya pengetahuan dari ayat-ayat suci yang digemakan. Karenanya, malam itu adalah malam pertama ketika semua keharusan agama sedapat mungkin mulai dilaksanakan dan digenapkan. Malam itu adalah awal malam-malam penuh keharusan yang menantang sekaligus menggairahkan.

Uniknya, ada sebagian orang yang konon justru menemukan bahwa bersamaan dengan tergelincirnya matahari Sya'ban terakhir, dirinya juga tersungkur dalam keharuan tak terpikir. Sya'ban laksana bulan kritis ketika semua kelemahan telah begitu memberatkan kesadaran, tetapi harapan akan hadirnya Ramadhan pun telah matang. Maka, berbeda dengan kebanyakan orang, orang-orang ini justru merasa bahwa Ramadhan adalah bulan yang mengharu-biru oleh berkah. Ketika tak ada air menyegarkan kerongkongan, justru memancar air kemurahan-Nya dalam lubuk hati, mewartakan beningnya keikhlasan. Ketika tidak ada makanan mengencangkan persendian, bertaburan cahaya ilahiyah yang mengubah kerontang tengah hari menjadi hangatnya hati yang jingga oleh kerinduan kepada-Nya. Malam inipun menjadi malam awal yang penuh dengan gelegak puji dan derai air mata haru, yang semakin hari semakin tak terbahasakan, dan membekaskan kerinduan yang dalam ketika bulan itu akan berakhir.

Adakah orang-orang yang memasuki Ramadhan dengan kesahajaan orang-orang biasa, tetapi diam-diam, napasnya melantun bersama gemuruh tasbih yang cuma Tuhan yang tahu; dan masya Allah, ia sadar sesadar-sadarnya bahwa ia sedang menjadi bagian dari tasbih itu? Ketika kesedihan dan kegembiraan, perlahan tetapi pasti, memisahkan diri seperti baju, dan dirinya telanjang tak beraurat di hadapan tatapan-Nya Yang Maha Agung? Mungkinkah ada orang-orang yang tidak lagi merasakan keletihan, semangat, keharuan, atau apa pun lagi selain rasa abadi bersama-Nya yang diteguhkan, yang telah lama dikenalnya?

Jika ada, debu terompah mereka pun pasti telah terpapar oleh cahaya keabadian. Dan sungguh, saya ingin mendapatkan debu itu sebutir saja, bagi malam yang jerih, yang telah tahunan menyaput hati saya.



Oleh: Miranda Risang Ayu
www.republika.co.id