04 Oktober 2009

Pesta diatas Lumpur

Di sekeliling kita, sebuah pesta boleh diadakan. Pesta ini seharusnya adalah sebenar-benarnya pesta, tanpa kemabukan apa pun kecuali mabuk syukur ke hadirat Yang Maha Mengasihi. Kemabukan kepada-Nya, yang ampunan-Nya selalu lebih dulu daripada amarah-Nya; kepada-Nya, yang selalu membalas langkah canggung para pendosa yang hendak mendekatkan diri kepada-Nya dengan maaf-Nya yang berlari melebihi kecepatan cahaya; kepada-Nya, yang kasih-Nya selalu menarik rambut kesadaran makhluk yang dicintai-Nya dari penjara nafsu raganya yang sementara; dan kepada-Nya, yang pukulan kemarahan-Nya pun adalah anugerah tanah, udara, dan kehidupan yang tidak juga ada hentinya, hingga sujud juga hati yang semula hitam menjelaga dalam rasa malu yang tidak terkira.

Pangkuan ayah-bunda, genggaman tangan suami atau istri, ciuman takzim anak-anak, hingga sapaan indah yang tertera pada bingkisan, kartu, layar internet, dan telepon selular, yang adalah bahasa kasih-sayang yang sudah tersuling selama Ramadhan, tentu patut dirayakan dengan kesahajaan yang elok sekaligus dalam. Dan pesta ini, adalah layak jika ditegakkan di atas kesejahteraan. Maka tabungan pun dibuka, untuk dibelanjakan dan dihikmati bersama. Infak, sedekah, dan zakat fitrah dikeluarkan. Kebahagiaan disempurnakan tidak lagi dengan hanya mempertebal kantong pribadi, tetapi juga dengan mengosongkan isinya bagi hak-hak keluarga dan sesama, yang pada dasarnya adalah diri dalam raga yang lain.

Karenanya, selamat hari raya Idul Fitri. Selamat menghikmati hari kemenangan. Maafkan jika beberapa orang, termasuk saya, masih membaluti diri dengan pakaian hitam di sekujur tubuh, di balik mukena yang putih dan mulus. Maafkan jika ada air mata yang ingin melembekkan tanah keras yang menyangga dahi-dahi yang tengah bersujud, sejenak saja.

Beberapa hari yang lalu, seorang gadis yang tinggal di daerah pertemuan Sungai Citarum dan Citepus, Bandung, baru membangkitkan senyum pasrahnya dari balik lumpur. Lumpur ini bukan lumpur hati, tetapi lumpur sungguhan, yang menderas bersama air sungai yang muntah karena telah dipaksa berpuasa melebihi kapasitasnya oleh beton-beton pabrik yang ditanamkan tanpa rasa bersalah, di sekitar muara. Ini gadis hanyalah satu anak dari 260 anggota kepala keluarga yang bingung bersyukur, karena sudut-sudut rumah mereka diajak bertasbih oleh berton-ton cairan coklat berbau busuk yang membenamkan setengah rumah mereka hanya beberapa saat setelah kaki-kaki mereka menjejak lantai masjid untuk tarawih.

Kemenangan gadis itu, karenanya, hanyalah senyumnya, di dalam rumah kosong yang listriknya baru menyala lagi dalam hitungan hari, dan di antara gang-gang berlumpur setinggi kaki yang tengah bercerita tentang kematian sebuah wilayah hunian.

Pesta gadis itu, dan ratusan tetangganya yang lain, yang telah belasan malam menginap di tenda-tenda, hanyalah senyum, ketika satu dus bantuan pelipur duka sampai ke tangannya. Sepuluh tahun lagi, ketika ia mungkin telah menjadi ibu, entah bagaimana ia harus mendongeng kepada anaknya tentang Idul Fitri, sebagai hari raya.

By Miranda Risang Ayu
http://www.republika.co.id/