28 November 2009

Kambing

Seorang teman pernah bercerita kepada saya tentang cara orang tuanya mendidiknya menyambut Idul Adha. Seperti halnya anak-anak masyarakat adat Lampung yang cukup berada, teman saya itu diamanatkan orang tuanya untuk memelihara calon kambing korban itu sebagai miliknya sendiri. Hangatnya kebanggaan yang polos dari seorang anak yang tiba-tiba menemukan diri sudah dianggap cukup besar untuk "memiliki" makhluk hidup, telah lebih dari cukup untuk mengawali sebuah cerita perawatan yang indah. Kambing itu gampang gemuk karena ia dipelihara dengan tekun tidak sebagai anggota gerombolan, tetapi sebagai unikum, dengan ketulusan putih natural dari seorang anak.

Menariknya, pendidikan paling penting justru terletak pada hari raya, ketika hubungan perawatan yang indah antara si anak dan si kambing harus berakhir dengan membuncahnya darah si kambing di ujung pedang. Padahal, kambing itu sudah menjadi yang tersayang, begitu dikenal, nyaris seperti diri anak perawat itu sendiri. Pernah, ketika seekor kambing terkulai mati, sang anak perawat kepala bertanduk itu sampai hampir ikut roboh. Itu pedang seperti menyembelih leher anak itu sendiri.

Sebagian orang tentu menganggap bahwa pendidikan ini agak keterlaluan. Tega sekali membesarkan kambing hanya untuk disembelih, lalu untuk membesarkannya, menugaskan seorang anak kecil pula. Kalaupun peri kehewanan tidak layak menjadi diskursus hati, bagaimana jika si kambing yang sudah kepalang gemuk dan begitu merasa nyaman di samping tuannya itu berontak ketika akan disembelih? Ini hanya menambah jeri hati si anak.

Pendidikan macam begitu? Lupakan saja. Atau, dari awal saja si anak perawat disuruh memberi si kambing hanya sisa rumput kering, mengurungnya di tempat gelap, dan meniadakan haknya untuk disayang, karena akhirnya, bukankah itu kambing akan disembelih juga. Biar kurus kering putus asa dia dan mudah saja dibelit tangan kakinya untuk dibanting ke tanah dan dibuat tak berkutik dalam hitungan detik. Dengan begitu, tidak ada rasa sakit dalam hati si anak, karena kambing itu tidak menjadi amanat. Dan kambing itu? Tak usah peduli, ia bukan manusia.

Dua alternatif terakhir ini logis juga. Tetapi, si anak akan kehilangan wahana berlatih menerima perpasangan kepemilikan dan kehilangan sebagai tempat kematangan hati berkembang. Ini baru kambing, bagaimana jika yang harus mati adalah sesuatu yang paling disayang, seperti orang tercinta, atau bahkan diri sendiri?

Yang pasti, jika gemuruh takbir menyapa beranda hati, satu malam saja, dan hangat gulai kambing menghangatkan persendian, satu hari saja, dengan sejuk dahi menyapa sajadah, beberapa detik saja, bersyukurlah atas pengingatan Allah yang masih demikian indah.

Bayangkanlah jika Idul Adha adalah malam lembur di depan komputer 24 jam, pagi berlari menyerahkan pekerjaan, dan fajar adalah kebingungan mencari gelaran shalat berjamaah di tengah masyarakat yang penganut Islamnya memang hanya satu-dua orang. Lalu, hangat pagi pun bukan hangat gulai ketupat dan pelukan, tetapi hanya semangkuk mi plastik tanpa handai taulan. Di negara-negara Barat, hal ini ada kenyataannya, mungkin bahkan tidak satu-dua.

Tetapi, Allah adalah Yang Maha Pengasih dan bukan yang suka pilih kasih. Dalam situasi itu, ada kambing yang dapat tetap disembelih, dibagikan, dan dihikmati dengan kesyukuran. Kambing itu adalah ego sendiri, yang selalu lebih percaya pada kenikmatan dalam bayangan daripada kenikmatan yang tersembunyi di sekitar kenyataannya, sepedih apa pun kenyataan itu, tampaknya.

Miranda Risang Ayu