13 Februari 2009

Bersendiri

Suatu malam, dalam dialog imajinernya, seorang murid menyatakan kepada gurunya bahwa ia baru saja sampai pada titik esensial femininitasnya. Titik itu didapatnya setelah serangkaian dialog yang dilakukannya, dengan pepohonan, jalanan, dan akhirnya dinding-dinding di dalam hatinya sendiri. Bukan, ia bukan tidak punya kawan. Ia sebetulnya memiliki banyak teman dan saudara, yang selalu siap menawarkan jasa yang murni berdasarkan hubungan yang tulus, atau paling tidak, hubungan saling menguntungkan, yang selama ini telah terbangun. Tetapi, yang tidak dimilikinya hanya satu, pasangan hati.

Ketika itu, dalam sebuah perjalanan, ia juga telah menemukan sebuah masjid yang teguh, teduh, dan begitu menarik untuk pesujudan kejerian hati, tetapi ia kemudian tersadar bahwa masjid itu terlalu suci baginya. Ia sedang datang bulan. Dan, ditemukannya dirinya terhenyak di tepi jalan yang kosong, dengan darah yang keluar dari dinding-dinding hatinya yang berguncang, yang pelan tapi pasti, rata dengan tanah. Takut menghujat Tuhan, sempat juga ia sampai pada puncak kemarahan, yang berbalik dalam sepersekian detik menjadi permohonan ampun yang mendalam, bagi keteguhan iman yang kemudian disadarinya ternyata telah runyam.

Ia memang perempuan. Luar dalam. Sulitnya, ia tidak punya lagi cukup keberanian dan tenaga untuk menolak kenyataan. Beginilah titik nadir femininitas perempuan itu bisa dijabarkan dengan serangkaian kenyataan internal yang paradoksal: ia ingin tertawa tetapi hatinya pedih. Ia ingin menyelesaikan kepedihannya tetapi ia tidak ingin kepedihannya memedihkan orang lain. Ia ingin berdialog, tetapi yang bisa menjawabnya hanya air yang keluar dari matanya sendiri. Ia ingin dikuatkan oleh Tuhan, tetapi ia pikir kesucian menolaknya dan ia menemukan diri menjadi lemah di bawah lemah.

Dan dialog itu pun terjadi.

"Jika saya tertawa, saya tahu itu adalah pemberian bagi lingkungan, tetapi juga kebohongan bagi kenyataan internal saya. Sungguh ingin saya temukan orang tempat saya bisa mencurahkan kejerian hati saya dengan jujur. Anehnya, sapaan-sapaan simpatik yang saya terima membentur dinding hati. Sebaliknya, hati saya merindukan dialog yang ternyata hanya monolog. Keriuhan internal ini membuat saya capai. Jadi, bagaimana, ya Mursyid?"

"Bersendiri. Bukan menyendiri, tetapi bersendiri," tegas gurunya.
"Wakilkan seluruh derita kepada Tuhan. Serahkan kepada-Nya. Ketika tidak ada lagi dinding yang kuat untuk bersandar, Tuhan itu cukup." Jadi kesimpulannya, ia tidak boleh dan memang tidak mungkin lagi berkeinginan?

Bersendiri, menurut An-Nifari yang dibahasakan kembali oleh Muhammad Zuhri, adalah kenyataan yang berbeda dengan menyendiri, karena bersendiri adalah kenyataan internal yang ditemukan. Ketika itu, kata-kata tidak bisa lagi memecahkan apa pun. Air mata apalagi, yang menjadi kering bersamaan dengan habisnya tenaga untuk menangis.

Ketidakberdayaan perempuan ini adalah satu kenyataan saja sebetulnya. Hal macam begini bisa saja dialami oleh setiap orang yang ditimpa musibah; ditinggal mati orang yang dicintai, bercerai, jauh dari keluarga maupun sahabat, kehilangan pekerjaan andalan, menderita sakit berat, atau dipojokkan oleh situasi ekonomi politik.

Ketika itu, hati memang minta diistirahatkan dalam pelukan keabadian, yakni Allah sendiri. Biarkan Allah saja yang menjadi kekuatan, menjadi "sisi maskulin" yang menggenapkan.

Betulkah? Saya tidak tahu. Tetapi, jika Anda ingin menemukannya, sungguh Anda tidak sendirian.

sumber Miranda Risang Ayu (Rubrik Resonansi Harian Republika)