13 Februari 2009

Surat Terbuka Untuk Anakku

Izinkan kali ini saya menulis surat tidak kepada presiden, calon presiden atau anggota parlemen, tetapi kepada salah satu penguasa hati saya saja, yakni: anak saya. Juga, bagi anak-anak lain, dan semoga juga Anda dan diri saya sendiri, yang selalu merindukan ketulusan kanak-kanak agar selalu bersemayam di dasar hati.

Beberapa waktu yang lalu, KH Muchtar Adam baru saja mengingatkan banyak orang tentang sifat kepemimpinan Rasulullah yang mulia. Maka, surat ini tewarnai oleh pelajaran itu.

''Anakku, apakah yang terpikir olehmu ketika kau harus naik sepeda ke sekolah, sementara kawan-kawanmu ada yang bahkan telah punya sepeda motor sendiri?''

''Terima kasih karena kau dengan yakin telah berkilah kepada kawanmu, dan mungkin juga sebetulnya, kepada dirimu sendiri, bahwa biar pun badanmu sudah sebesar orang dewasa, secara jujur, usiamu masih terlalu muda untuk itu.

Jika kaulihat temanmu ada yang diantar oleh mobil pribadi yang mewah, semangati saja mereka untuk belajar juga sebaik mungkin seperti dirimu. Karena fasilitas yang telah mereka dapatkan dari orangtua mereka, bukankah adalah anugerah. Sementara itu, aku setuju denganmu bahwa bersepeda itu sehat.''

''Maafkan aku yang tidak bisa mendapatkan uang terlalu banyak. Tetapi, setiap lembar rupiah yang kudapat, insya Allah, masih semurni semangatmu, dan bukanlah hasil dari kelihaianku menelikung hak orang lain sambil ongkang-ongkang kaki. Doakan agar aku bisa tetap seperti itu. Aku khawatir tak sengaja terperosok suatu hari, karena dari hari ke hari, kebutuhan pokok kok ya semakin sulit saja terpenuhi.''

''Terima kasih untuk kepintaranmu di sekolah. Aku selalu ingat bahwa dalam usia belia, kau sudah punya sistem belajar sendiri yang bahkan kupelajari. Ketika aku sedang sekolah S2 dulu, aku ingat waktu kau menasihati aku, "Bu, bila subjek yang harus dipelajari banyak pada waktu yang bersamaan, belajarlah dalam suasana dan cara yang berbeda.

'' Kalau kau ada metode baru lagi, bagikan kepadaku, ya? Bukankah mencari ilmu itu lebih penting dari pada mencari uang? Tamaklah akan ilmu tetapi sederhanakan nafsumu kepada uang. Allah sudah mencukupkan rezekimu. Mari kita pintar-pintar saja merasa cukup. Itu adalah kepintaran yang amat sulit tetapi menantang untuk dipelajari.''

''Jika kini ada seperangkat komputer tua di tanganmu, jangan marah jika aku mengingatkanmu untuk selalu menjaganya, karena kekuasaanmu atasnya hanya untuk menjaganya. Sebaliknya, jika kau ingin mengkritik caraku mendidikmu, katakan saja sejujurnya. Kekuasaanku atasmu juga ada batasnya. Amanah memang tidak pernah mudah, kecuali kita mau saling membatasi dan menjaga.''

''Kuasai sebanyak mungkin bahasa selagi kau masih muda. Tetapi juga, pelajari bahasa sunyi yang abadi, yang akan menghantarkan doa-doamu melambung kepada Yang Maha Esa, setiap detik dan pergantian hari.''

''Selalu kurindukan saat-saat kita bisa berbagi. Kurindukan juga saat-saat kelak kita bisa berbicara bersama dengan bahasa kasih-sayang, tanpa memandang agama, warna kulit, atau pun status sosial. Bukankah kita ini bersaudara, dengan sesama muslim, dengan sesama umat manusia, dan bahkan juga dengan sesama ciptaan Allah; dengan ilalang dan bahkan semut-semut yang melintas di meja makan kita.''

''Ketika kita hanya punya keimanan kepada Tuhan, ketulusan kepada sesama, dan kerinduan untuk menemukan Cinta yang sebenarnya dalam nama-Nya, jangan pernah menyesal. Mari kita berani untuk terus mencari, menemukan dan menyatakannya, apa adanya, sampai akhir hayat kita, karena untuk itulah kita ada.'' 

Sumber : Miranda Risang Ayu (Rubrik Resonansi harian Republika)