17 Maret 2009

Jika Tuhan Bersenda-gurau

Anda sedang jatuh cinta? Selamat. Mungkin, dedaunan tiba-tiba lebih hijau dari biasanya. Atau, tanpa sadar, diri Anda menjadi lebih bersinar. Jatuh cinta yang baik, khabarnya, membuat seseorang menjadi lebih hidup, lebih bersemangat, bahkan juga, lebih pengasih, lebih mudah memaafkan, dan lebih tegar menghadapi masalah. Seorang mahasiswi yang tengah jatuh cinta bahkan pernah merasa bahwa pepohonan rimbun menuju kampusnya, yang ia lewati belasan kali dalam seminggu, dengan motor, kepadatan jadwal, dan kebisuan yang sama, tiba-tiba mengirimkan tasbih, yang bergemuruh bersama desir angin.

Dalam perspektif positif, cinta, seperti pesan yang tersirat dalam doa agung sang rasul ketika akan menikahkan putri kesayangannya, mengumpulkan semua yang berserak di antara dua subjek. Cinta menawarkan totalitas. Maka, dunia yang penuh warna bisa tiba-tiba menjadi jingga semua. Indah bukan?

Tetapi, dalam perspektif yang sebaliknya, cinta meniadakan warna lainnya. Ia menghanyutkan, menginfeksi kulit hingga saluran pernapasan, sampai ke ujung-ujung rambut yang tidak bersaraf. Ia membohongi kesadaran bahwa dunia itu hanya satu warna. Bagaimana jika suatu saat orang yang paling dicintai itu berubah menjadi orang yang paling dibenci? Atau, bagaimana jika tiba-tiba, orang yang paling dicintai itu mati? Bukankah kesiapan untuk sungguh-sungguh mencintai juga mensyaratkan kesiapan implisit untuk, suatu saat, sungguh-sungguh kehilangan? Cinta, seperti juga ciptaan Tuhan lainnya, bukankah juga 'cuma' sebuah amanah yang bisa diambil lagi sewaktu-waktu, kapan saja Dia mau?

Lucunya, Tuhan telah lama mengajak manusia bercanda. Diciptakan-Nya pasangan yang membuat tenteram dalam diri manusia yang lain, hingga mau tidak mau, suka tidak suka, setiap manusia cenderung akan mencari belahan dirinya yang lain. Padahal, tidak pernah ada data objektif yang menyatakan bahwa ada dua manusia yang bersama-sama dan berbahagia selama-lamanya.

Sayangnya, Tuhan adalah Lex Divina yang tidak bisa diprotes. Lagi pula, agaknya indah jika seorang manusia mau menanggapi canda-Nya, hingga nanti, di perjumpaan terakhir, Ia tidak murka, tetapi tersenyum dengan agung-Nya.

Untuk niat ini, tampaknya, ada tiga cara spiritual yang biasa ditempuh. Pertama, secara sadar, menolak cinta. Arti paling harfiah dari cara ini, tentu adalah tidak mau jatuh cinta, atau secara ekstrem, tidak percaya dengan lembaga perkawinan, tetapi cara ini terlalu radikal dan serius hingga Tuhan tidak suka. Kedua, mencintai dengan rasional. Karenanya, ada janji talak dalam surat kawin hingga perjanjian pembagian harta sebelum menikah. Yang paling ekstrem, seorang mencintai dengan perhitungan yang amat rasional, yakni dari bibit, bebet, dan bobot-nya. Cara ini pasti tidak akan membuat-Nya murka, tetapi entah ada di mana senyuman-Nya.

Cara ketiga, menjadi pecinta yang sesungguhnya. Jika Tuhan bertanya, apakah Anda jatuh cinta, katakan saja ya, tetapi itu hanya karena itu satu-satunya cara untuk menghikmati kehadiran-Nya. Jika Tuhan menyuruh, menikahlah, katakan saja ya, tetapi itu hanya dilakukan karena tidak ada seorang pun yang sanggup menentang-Nya. Dan jika Tuhan bertanya lagi, sudahkah merasakan cinta yang sesungguhnya, katakan saja ya, tetapi itu hanya senda-gurau saja karena hanya kehadiran-Nya yang akan mengabadikan semuanya.

Jika Tuhan bertanya, mabuk cintakah? Katakan saja ya, tetapi segeralah juga minta agar yang tertuang adalah kebenaran-Nya.

Oleh Miranda Risang Ayu, www.republika.co.id