17 Maret 2009

Kisah Sebuah Mimpi

Suatu ketika, seorang muda menemukan dirinya tertidur di atas sajadah shalat malamnya. Gelap belum beranjak dari lubuknya dan ia berniat pindah ke peraduan. Anehnya, ruang itu kosong. Entah di mana itu tempat tidur, meja kerja, komputer, dan lemari pakaiannya. Ia ingat bahwa sebelum shalat, ia tengah berada dalam saat-saat tergelap dalam hidupnya. Ada catatan tentang timbangan yang dikurangi, lipatan persahabatan yang digunting, dan sebungkus cinta yang ternyata cuma setengah, hampir dalam satu waktu. Sebelum shalat, ia sempat berandai kepada Tuhan, jika saja ia bisa tidur dengan tenang dan tidak bangun lagi.

Tetapi, ia bangun lagi, kedinginan dalam ruang kosong. Dibukanya pintu kamar dan di hadapannya terbentang sebuah lorong. Hanya satu pintu tertutup tampak di ujungnya.

"Tuhan, saya cuma ingin minum air hangat," batinnya. "Dan saya tidak suka film horor."

Dilihatnya sebuah kendi tergeletak dipenuhi air dingin yang menetes dari eternit. Diambilnya kendi itu dan ia berharap, di balik pintu nun di ujung lorong, ada perapian tempatnya bisa menjerang air.

Setiap ia melangkah, pintu itu menjauh satu tindak. Tetapi, setiap ia berhenti, dingin lantai makin menusuk telapak kakinya seperti duri. Tak ada pilihan selain berjalan. Padahal, pintu itu menjauh terus dan terus.

"Tuhan, saya ingin sampai," keluhnya. Dan pintu itu justru menjauh beberapa tindak.

Kakinya menjejak lantai dan dingin lantai memaksanya berjalan. Pintu itu terus menjauh hingga letih ia berharap. Dan air dalam kendi itu ada dalam dekapan tetapi ia tidak mungkin meminumnya. Akhirnya, anak muda itu bergumam, "Tuhan, saya tidak menginginkan apa-apa lagi. Kau Maha Tahu dan itu cukup."

Tahukah Anda, di mana kemudian anak muda itu menemukan dirinya? Berada hanya beberapa centi di depan pintu. Ketika hamdalah meluncur spontan dari mulutnya, pintu itu terbuka dengan sendirinya, menampakkan sebuah ruang luas bersiram cahaya hangat, dengan rak-rak buku memenuhi dinding.

Seorang berpakaian putih yang telah dikenalnya entah di mana, sedang duduk di hadapan sebuah buku. Dihampirinya orang itu dan orang itu pun mengangkat dagunya.

"Ini bukumu. Buku tentang dirimu. Mau baca?"

Anak muda itu tertegun sejenak. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia sudah lupa cara berkemauan atau berkeinginan.
"Entahlah. Tetapi saya merasa... sedang membaca."

Orang di hadapannya itu pun tersenyum dengan amat indah.
"Apa yang sedang kamu baca?"
"Perjalanan diri saya yang saya ingat: sebuah proses penyadaran. Bahwa saya merasa terjerat dalam perlakuan tidak adil, dan saya tetap tidak ingin teraniaya. Tetapi, saya masih memiliki kebebasan untuk mempersepsi Tuhan, dan saya memilih untuk berkeyakinan bahwa Ia Maha Tahu kesakitan saya, dan itu cukup."

"Mengapa cukup?" tanya orang itu lagi.
"Karena saya percaya, bahwa bagaimanapun... Tuhan Maha Baik..." dan suara anak muda itu pun memarau.
"Kamu capai dan di sini tempat istirahmu. Minumlah," hibur orang itu akhirnya, penuh kasih-sayang.
"Tetapi, hanya ada air dingin mentah..."
"Perhatikan. Air itu sudah menjadi hangat dan matang dalam dekapanmu."

Dan anak muda itu terbangun, di atas sajadahnya, di dalam kamarnya yang lengkap seperti sediakala. Ternyata, ia baru bermimpi: memasuki lorong dirinya, membaca buku tentang qadar-nya, dan menghirup air yang telah hangat dan matang dengan sendirinya. Dari khazanah pengetahuan sufistik, ia tahu bahwa air adalah simbol keikhlasan.

Hanya satu pertanyaan tersisa: mengapa air itu bisa hangat dan matang dengan sendirinya? 

Oleh Miranda Risang Ayu, www.republika.co.id